#35 - Datang

344 58 12
                                    

Aku bermimpi Appa datang. Memeluk dan mencium kepalaku sepanjang malam. Di mimpi itu, aku duduk di pangkuan Appa sampai suhu badanku turun dan sakit kepalaku menghilang. Tubuhku kembali terasa bugar hanya beberapa menit berada di pelukan Appa. Perasaan nyaman itu membuat tidurku lelap. Hati yang tenang menghadiahkanku mimpi indah sampai akhirnya aku terbangun entah pukul berapa.

Tirai jendela belum tersibak seperti kemarin malam. Namun, kurasakan temperatur udara di ruangan ini sangat pas. Aku tidak kegerahan ataupun kedinginan. Di antara pengharum ruangan, aku bisa mencium aroma parfum Clive Christian yang melekat kuat di bantalku. Seketika aku terduduk. Kuedarkan pandangan mencari seseorang, tetapi tidak menjumpai siapa pun. Aku nyaris berpikir bahwa kenyamanan itu sungguhan hanya mimpi ketika melihat kopor hitam sedikit terbuka di depan lemari.

"Appa!" Aku melompat turun dari kasur dan menuruni anak tangga. Langkahku terhenti di lantai bawah. Appa benar-benar datang. Kejadian semalam bukan mimpi. Kini aku melihat Appa tertidur di sofa dalam posisi duduk dan menggenggam ponsel. Hatiku mencelus seketika.

Appa terlihat sangat kurus. Garis wajahnya terlihat jelas. Ayahku tidak pernah diet sehingga aku seratus persen yakin kalau Appa kehilangan berat badan karena stres dan akulah penyebabnya. Appa sudah berusaha sebaik mungkin. Namun, aku tidak pernah sekali pun menghargainya.

Aku berjalan mengendap-endap agar Appa tidak terbangun. Sepertinya Appa kelelahan karena tidak menyadari keberadaanku sama sekali. Kuambil pelan ponsel dari genggaman Appa. Kunyalakan sebentar untuk mencari tahu apa yang dilakukan Appa di ponselnya. Perasaan haru menyambutku kala melihat obrolan pesan Appa dengan Jaehyun Hyung.

Dalam keadaan jetlag pun, Appa masih memperhatikan anaknya yang lain. Appa selalu seperti itu. Baginya, sangat penting untuk memastikan kondisi kami setiap detik. Aku jadi merasa bersalah karena tidak penah peduli padanya. Kembali kumatakan layar ponsel dan meletakkannya ke meja.

"Hmm?" Appa terbangun. Matanya mengerjap. "Sudah bangun, Nak?"

Aku mengangguk. Tubuhku mematung. Tiba-tiba saja suasana ini terasa canggung.

"Masih demam?" Appa berdiri dan menempelkan punggung tangan ke dahiku. "Syukurlah, sudah turun." Senyumnya mengembang puas seolah Appa yang menemukan obat penurun demam.

"A-aku terkejut Appa ke sini," ungkapku. Sungguh, aku jadi tidak tahu harus melakukan apa. Aku ingin mengusirnya seperti bagaimana aku selalu menolak kehadirannya. Namun, sebagian besar hatiku tidak setuju. Jiwa bungsuku mendominasi. Aku tetaplah seorang anak yang merindukan orang tua.

"Maaf. Rasanya Appa seperti mau mati mendengarmu sakit sendirian di sini." Appa mengusap kepalaku.

"Maaf. Aku tidak bermaksud membuat Appa khawatir," ujarku.

Appa mengangguk dengan senyum lembut. "Oh, sebentar. Appa buatkan susu dulu," katanya.

"Aku saja." Aku menahan lengan Appa. "Appa mandi dulu saja. Aku bisa membuat susu sendiri."

"Tidak, Sayang. Kalau ada Appa, maka tugas itu—"

"Please," pintaku serius. Aku rindu dimanja dan diperhatikan. Namun, melihat wajah Appa sedikit pucat dan badannya yang lemas membuatku tidak tega. "Kalau tidak mau mandi, setidaknya cuci muka dulu. Aku yang akan membuat susu."

Appa menghela napas pelan lalu mengangguk. "Terima kasih," ucapnya sambil mencubit hidungku dan kami tertawa bersama.

Tawa ini adalah suara kebahagiaan pertama yang keluar dari mulutku semenjak pindah ke London. Aku tidak menyangka semudah itu untuk tertawa sampai tubuhku terasa sangat ringan. Bahkan, ketika aku sibuk di dapur, bibirku tak henti bersenandung. Seperti ada konser di dalam tubuhku yang sedang merayakan sesuatu.

On Me [OSH] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang