Sebagai bentuk penghormatan terakhir, aku pergi ke makam Ling Jianjian. Kuletakkan beberapa tangkai krisan putih di depan nisannya. Bisanya ada sebuah foto yang dibingkai pada nisan marmer untuk mengenang mendiang, tetapi tidak ada satu pun dari kami yang sempat melihat bagaimana wajah Ling Jianjian saat besar nanti.
Semua itu adalah salahku.
Sampai sekarang aku tidak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri. Sifatku yang egois telah merenggut kebahagiaan banyak orang. Andai aku bisa berpikir lebih bijak dan bersikap dewasa, mereka pasti bisa tersenyum. Appa, Jaehyun Hyung, Choi Jiwoo, Ling Jianjian, dan aku sendiri. Sayangnya, kelakuanku yang kekanakan malah memberi mereka tangis tak berkesudahan.
Appa kembali menitikkan air mata ketika menatap ukiran nama calon putrinya. Aku pernah melihat wajah sedih itu saat di pemakaman calon adik Kim Jongin. Ayah kami sama-sama mengalami fase kehilangan dengan skenario berbeda.
"Hai, Ling Jianjian." Aku berusaha mengulum senyum ke arah nisan marmer abu-abu dengan ukiran emas di bagian nama pemilik makam itu. "Ini aku, kakakmu." Kurasakan tatapan Appa berpindah ke arahku dan aku hanya membalasnya dengan senyum yang kutujukan pada Jianjian. "Maaf, ya, aku baru datang sekarang."
Tangan kiri Appa meraih bahuku dan merematnya kuat. Aku tidak tahu untuk memberiku kekuatan atau justru sebaliknya.
"Jianjian," panggilku seolah bocah mungil itu benar-benar ada di depanku dan bisa mengerti apa yang kukatakan. "Terima kasih," ucapku.
Appa tetap diam seolah membiarkanku bercengkerama.
"Walaupun singkat, terima kasih karena sudah membuat Appa tersenyum dan bahagia." Aku balas merangkul Appa. Tinggi badan kami sama sehingga kegiatan saling merangkul ini pasti terdengar lucu jika diperhatikan. "Percayalah, kau adalah orang beruntung karena pernah disayang oleh Appa."
"Kita akan bertemu di surga nanti, Nak," kata Appa, terdengar lebih ikhlas dari yang kubayangkan. Appa juga bisa tersenyum lagi. Sesuatu yang kata Jeha Hyung sudah menghilang dari wajah Appa. "Appa akan menggendong dan menciummu nanti. Sampai saat itu tiba, Tuhan akan menjagamu di sana."
Giliran aku yang menangis. Seharusnya Jianjian bisa merasakan pelukan hangat Appa, tetapi karena aku, ia tidak bisa menjadi sosok anak beruntung yang menerima limpahan kasih sayang dari seorang Ling Yizhou. Betapa egoisnya aku bahkan pada saudaraku sendiri.
Aku pernah berpikir andai kehidupanku tidak berantakan sejak awal –hubungan orangtua yang harmonis, tidak ada rahasia tersembunyi— pasti dengan senang hati kuterima kehadiran Jianjian atau siapa pun yang menjadi adikku. Masalahnya, semua sudah salah kaprah. Aku tidak pernah tahu siapa ibuku. Saat tahu pun, aku membencinya atas sifatnya yang egois dan manipulatif. Cara Appa menyembunyikan fakta tentang Jianjian juga tidak bisa dibilang mudah dimaafkan.
Semua kepura-puraan itu membuatku muak sampai akhirnya aku lelah dan mati rasa. Perasaan itu kini menjadi bumerang yang sedang melaju kencang ke arahku dan aku tidak bisa menghindar. Aku harus menghadapinya. Kesedihan ini, rasa kehilangan ini, aku harus berusaha untuk berdamai dengan kesalahan yang kuperbuat.
"Jianjian," panggilku lagi lalu kuembuskan napas lebih panjang dari sebelumnya. "Oppa akan datang lagi nanti, ya."
Appa tidak mengatakan apa-apa. Tatapannya tetap tertuju pada nisan Jianjian seolah tidak ingin beranjak sama sekali dari tempat ini.
"Appa masih ingin di sini?" tanyaku.
"Tidak," jawab Appa seraya menggeleng. "Kakakmu menunggu di rumah."
"Jaehyun Hyung belum tahu aku pulang, kan?"
"Hmm." Appa mengangguk. "Kakakmu akan histeris nanti."
"Astaga. Aku harus menyumbat telinga kalau sudah sampai rumah."
![](https://img.wattpad.com/cover/306339755-288-k206336.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
On Me [OSH] | TAMAT
FanfictionSeseorang menjebak Ling Sehun dengan kasus kepemilikan ganja. Atas kesalahan itu, Sehun mendapat hukuman dari ayahnya untuk melakukan pekerjaan sosial dan menyelesaikan seratus misi kebaikan dalam satu tahun. Si bungsu manja yang tidak bisa apa-apa...