#1 - Ganja

1K 92 20
                                    

Kepalaku berdenyut menyakitkan ketika aku berusaha berbaring miring. Tiba-tiba perutku sangat mual. Aku berusaha bangun, tetapi sakit di sekujur tubuhku makin menjadi-jadi. Perutku melilit dan kepalaku makin sakit. Aku sulit membuka mata. Suhu ruangan benar-benar dingin hingga kakiku kembali kutarik masuk ke dalam selimut.

"Tuan Muda?"

Samar-samar terdengar seseorang memanggilku. Aku memaksa mata agar terbuka, tetapi yang kulihat hanya bayangan seorang pria berjas hitam tengah membungkuk ke arahku. Aku seperti baru saja dipukul dengan tongkat ketika memaksa untuk melihatnya lebih jelas.

"Anda sudah bangun?" tanya suara itu lagi. Paman Jang. Aku mengenali suaranya.

"Pusing," keluhku sambil memegang kepala. "Pusing sekali."

Paman Jang makin mendekat hingga kulihat wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter di atasku. Kurasakan punggung tangannya menyentuh dahiku. "Anda bisa bangun? Tuan Ling sudah menunggu Anda di meja makan," katanya.

Pemberitahuan itu sukses membuat tubuhku menegang. Jika Appa sudah menunggu di meja makan, artinya aku terlambat bangun. "Jam berapa ini?" Aku mengerang ketika Paman Jang membantuku untuk bangun.

"Pukul sembilan," jawab Paman Jang lalu memapahku ke toilet.

Aku berjalan terhuyung hingga harus memegangi lengan Paman Jang. Tubuhku duduk lemas di kursi depan wastafel. Berkumur sebentar lalu menerima sikat gigi beroles odol. Paman Jang menyiapkan air hangat di bak mandi dan aku merasakan dorongan hebat untuk muntah ketika menggosok lidah.

"Anda terlalu banyak minum," ujar Paman Jang, memijat tengkukku dan seketika seluruh isi perutku seperti keluar bersamaan.

Mulutku pahit. Aku memegang tepian wastafel dengan erat untuk menyalurkan rasa sakit yang menghujam tubuhku. Ini gawat. Jika aku tidak segera datang ke meja makan dalam lima belas menit, tidak bisa kubayangkan tatapan tajam dari ayahku nanti. Aku menguras perutku hingga tercium bau amis dari muntahan yang tertelan lubang wastafel. Ternyata tubuhku benar-benar tidak bisa mentoleransi kandungan alkohol.

"Sudah lebih baik?" tanya Paman Jang, dan aku mengangguk sembari berkumur. "Mandi sekarang? Saya siapkan baju ganti," katanya, dan lagi-lagi aku hanya mengangguk lalu menyalakan shower. Tidak ada waktu untuk berendam.

***

Aku keluar kamar mengenakan bathrobe Versace yang dibelikan ayahku bulan lalu. Aroma manis dari susu dan selai roti menyambutku di ruang makan. Tidak ada ayah di kursi utama. Aku hanya melihat seorang lelaki yang lebih tua tiga tahun dariku tengah menyesap teh dari cangkir putih ditemani empat pelayan yang berdiri tegak di dekat dinding.

"Morning, Hyung," sapaku lalu mencium pipi Jaehyun Hyung, satu-satunya kakakku.

"Berapa banyak kau minum?" Jaehyun Hyung mengernyitkan dahi lalu mendorongku agar menjauh.

"Entah, tapi aku muntah banyak," jawabku lalu duduk di sisi kanannya. "Di mana Appa?"

"Duduk di tempatmu!" titah kakakku.

Aku berdecak pelan. Jaehyun Hyung adalah orang yang paling taat aturan, dan aku membenci itu. "Lain kali, tulis dulu aturan dilarang duduk di sampingmu," kataku, mengambil segelas susu putih dan meneguknya perlahan. "Di mana Appa?" tanyaku lagi.

Jaehyun Hyung tidak membalas. Ia berdiri lalu berpindah ke seberang meja seolah aku adalah kuman yang akan menularkan penyakit padanya. "Kau terlambat empat puluh menit," ujarnya sambil memotong telur ceplok di atas roti panggang.

"Ini pertama kali aku bangun terlambat, Hyung. Kenapa mengomel seperti aku selalu melakukannya?" omelku. Selera makanku hilang karena meladeni kakakku yang super disiplin. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling dan tetap tidak melihat keberadaan ayah. "Appa sudah ke kantor?"

On Me [OSH] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang