#34 - Demam

413 69 23
                                    

Berat badanku menurun drastis. Aku tidak tahu berapa persisnya bobot tubuhku sekarang, tetapi ketika bercermin, baru kusadari bahwa tulang-tulangku banyak yang terlihat menonjol. Pipiku menjadi cukup tirus seperti ketika aku masih berumur belasan tahun. Aku jauh lebih kurus dibanding saat masih tinggal di Seoul. Pantas saja sekarang celana dan bajuku banyak yang kebesaran. Jam tangan pun begitu.

Kuakui, selera makanku hilang semenjak tinggal di London. Aku kurang mampu beradaptasi dengan menu Eropa. Paman David pernah menyarankan agar aku makan dari restoran Asia saja. Aku menuruti saran itu dan lebih sering datang ke restoran di lantai enam, satu-satunya restoran Asia di Sky Park London. Namun, makin hari berat badanku kian menyusut.

Aku sudah mencoba banyak cara untuk tetap terlihat sehat. Minum vitamin, memperbanyak susu, tidur tepat waktu. Namun, semua seakan sia-sia. Aku tidak merasa stres tinggal seorang diri. Perlahan-lahan, aku menikmati kesendirianku. Apalagi sekarang aku punya banyak teman yang kutemui di jalan. Aku jadi merasa lebih berguna sebagai manusia.

Ketika aku bersikap biasa saja pada perubahan tubuhku, Paman David tidak sependapat. Ia berkali-kali mengomentari betapa kurusnya diriku, tetapi tidak sampai terlihat sepanik hari ini ketika memaksaku agar periksa ke dokter. Aku menolaknya puluhan kali yang berujung sia-sia karena Paman David mengancam akan mengadukanku pada Appa jika aku menolak.

"Aku yakin, Jeha Hyung sebenarnya sudah melapor pada Appa," kataku ketika kami duduk di lorong rumah sakit, menunggu hasil pengecekan keluar. Hari ini aku libur kerja demi periksa. Aku menjalani beberapa pemeriksaan demi memastikan tidak ada penyakit apa pun di dalam tubuhku.

"Memang sudah," sahut Paman David.

"Sudah kuduga," dengkusku pelan. Aku menyandarkan kepala ke dinding sambil membayangkan bagaimana Jeha Hyung melaporkanku yang mungkin sedang berak, atau sedang bersin, atau mungkin mengupil sampai menikmati camilan di depan televisi. "Syukurlah kalau laporannya tidak sampai membuat Appa ke sini," kataku tiba-tiba.

Paman David menoleh. "Maksudmu?" tanyanya dengan dahi berkerut.

Aku terdiam beberapa saat. Mencari jawaban apa yang kiranya akan terdengar logis. "Appa selalu terdengar ingin datang ke sini setiap kali aku menelepon. Aku belum ingin bertemu Appa," jawabku, jujur. Sebab, aku memang belum siap untuk bertemu dengan ayahku lagi.

"Mau sampai kapan?" lirih Paman David seolah ia pun sudah putus asa membujukku agar mau bertemu dengan sahabat dekatnya. "Appa-mu menangis setelah kau meneleponnya minggu lalu."

Jeha Hyung pernah mengirim sebuah video padaku. Rekaman CCTV ketika aku menelpon Appa yang sedang rapat besar dengan orang-orang di Sky Park. Hari itu, Paman David memberi isyarat agar peserta rapat membubarkan diri lebih dulu. Tanpa mendengar suara di dalam video itu, aku masih bisa mengingat percakapan kami. Lalu, setelah Appa selesai mendongeng selama beberapa menit, tangannya terlihat gemetar.

Appa menangis. Tanpa menurunkan ponsel dari telinga, Appa menitikkan air mata. Tangisannya makin keras dan menyayat hati sampai-sampai Paman David merebut ponsel lipat itu dan mematikan sambungan telepon dengan nomorku.

"Tidak hanya kau yang kurus seperti orang tidak makan berbulan-bulan," celetuk Paman David disertai embusan napas. "Ayahmu juga sama bandelnya denganmu. Ayahmu kehilangan selera makan. Setiap makan pun sambil melihat foto-fotomu."

"Appa tidak harus begitu," bantahku. Sejujurnya, selera makanku membaik ketika Jongin dan Mingyu datang membawakan makanan titipan Appa. Aku makan dengan lahap. Sayangnya, setelah makanan itu habis, aku jadi tidak berselera lagi. Aku terlalu gengsi untuk meminta agar Appa mengirimkan makanan terus. Terlebih lagi, aku tidak mau Appa makin kelelahan.

On Me [OSH] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang