[50] Agenda

1.8K 233 36
                                    

Rasanya seperti kemarin, ketika Haein dan Jisoo berjalan menuju pocha di dalam gang kecil tersebut, lalu untuk pertama kalinya Haein mengatakan keinginannya mempertemukan Jisoo dengan keluarganya. Kala itu, Haein dan Jisoo baru saja meresmikan hubungan mereka sehari sebelumnya.

Rasanya seperti kemarin pula, ketika Jisoo merasakan pergejolakan di dalam dadanya ketika kalimat itu terlontar dari bibir Haein.

Ia khawatir. Mungkin sedikit kalut. Namun, perasaan aneh lainnya pun turut menyelubungi. Ia berdebar-debar. Kupu-kupu menari di dalam perutnya.

Hubungannya bersama Haein, adalah suatu penjajakan baru. Sebelumnya, Jisoo tidak pernah membiarkan seseorang berada sedekat ini di sisinya. Haein adalah yang pertama. Maka, ketika Haein menjadi salah seorang terpenting dalam hidup Jisoo kini, sesungguhnya Haein telah melalui jalan yang cukup jauh untuk tiba di tempatnya sekarang. Dan itu sudah lebih dari cukup.

Saat itu, Jisoo masih belum dapat membayangkan bahwa Haein akan kembali berjalan maju, menempuh kelok berikutnya, untuk tak hanya sekedar menjadi kekasihnya, tetapi berharap menjadi teman hidup di sepanjang sisa umurnya.

Di awal, ide ini terasa mengerikan bagi Jisoo. Oleh karena itu, sebersit kalut, gelisah, khawatir dan rasa lainnya yang tak mampu Jisoo terjemahkan bercampur menjadi satu, selalu menghinggapi benaknya ketika mengingat kembali kalimat tersebut diucapkan oleh Haein,

'Aku berpikir untuk mempertemukan kalian suatu saat nanti,'

Ada banyak kemungkinan bagaimana Jisoo pada akhirnya bertemu dengan keluarga Haein.

Sempat Jisoo membayangkan ketika ia sedang menginap di apartemen Haein dan kedua orang tuanya tiba-tiba saja datang di waktu yang bersamaan. Nampaknya, akan menjadi suatu pertemuan yang tak terduga.

Jisoo juga membayangkan satu waktu ketika Haein begitu saja menjemputnya, kemudian membawanya berkendara mengunjungi kediaman orang tuanya. Bagaimana ia harus melaluinya? Jisoo merasa ia tidak akan pernah siap.

Banyak kemungkinan yang muncul di benak Jisoo. Namun, tampak semuanya tak pernah akan terjadi. Dan, sesungguhnya realita adalah satu hal yang sering kali tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Di akhir hari, jika mampu, kamu hanya akan menertawainya. Realita, nampaknya adalah satu kejutan yang selalu dipersiapkan oleh dunia ini untuk setiap individu yang berpijak di atasnya.

Jisoo menekan bel yang terpasang di sisi kanan pintu. Sekilas ia berdeham, lalu mengeratkan kembali cengkeraman jemarinya di tas kain besar yang sedang dijinjingnya.

Tarikan napas panjangnya terlihat sangat kentara. Sementara, wajahnya yang terhias natural, memperlihatkan guratan kewaspadaan. Ada sedikit rasa cemas berusaha menggoyahkan. Namun, Jisoo berakhir menghapusnya tatkala persis dua kali ia berlatih membuat senyuman terlukis di wajahnya.

Berharap ia, agar seseorang yang nanti akan membukakan pintu untuknya tak mendapati bahwa senyuman ini terlihat kaku.

Suara deritan pintu yang dibuka kemudian terdengar. Jisoo kembali mengambil satu tarikan napas, mempersiapkan dirinya. Entah apakah ia akan pernah benar-benar siap untuk hari ini. Kini, Jisoo tidak punya pilihan untuk memutar waktu kembali.

"Ya Tuhan...," seseorang terkesiap. Jisoo berpikir dirinya lah yang akan berakhir demikian. Namun, alih-alih dirinya, seseorang yang membukakan pintu untuknya lebih tak mampu menguasai keadaan. "Jisoo?" Tanya orang tersebut, seakan tak mempercayai keberadaan Jisoo di ambang pintu kediamannya.

"Selamat siang..." ucap Jisoo. Ia sempat menahan kata-katanya. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore lebih ketika Jisoo tiba di kompleks apartemen ini. Tidak kah seharusnya ia memilih kalimat, 'selamat sore'?

The Journey To TellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang