[40] Skandal

2.1K 199 47
                                    

Jisoo meninggalkan laptopnya untuk sementara waktu. Pada laman terakhir yang baru saja saja ditutupnya, sekilas terlihat kata kunci terakhir yang baru saja dicarinya beberapa saat yang lalu. Efek samping obat pereda nyeri.

Perempuan ini melangkah keluar kamarnya, mendapati kedua orang tuanya sedang berbincang di ruang tengah selepas makan malam mereka. Haein telah meninggalkan kediaman keluarga Kim nyaris empat atau lima jam yang lalu. Jisoo tidak menghitung. Yang ia tahu, Haein akan menghubunginya kembali malam ini setelah urusannya selesai.

Haein akan semalam menginap di apartemennya sebelum berakhir kembali pulang menuju Bucheon, besok pagi-pagi buta.

Jisoo kini berada di dalam dapur, mengambil segelas air putih untuk diminum bersama obat pereda nyerinya di kamar nanti. Lalu, samar-samar ia dapat mendengar topik yang dibicarakan orang tuanya. Haein. Jelas saja.

Sepasang suami istri ini tak menyadari Jisoo berada dalam jarak yang tak perlu usaha besar untuk dapat mencuri dengar. Dengan mudah, Jisoo mengikuti tiap bait percakapan itu.

"mereka sudah kenal selama dua tahun..." ucap si ibu. Yang segera setelahnya disambut oleh suara sang ayah,

"tidak ada yang salah dengan itu. Tidak ada yang salah juga dengan lamaran yang diberikan Haein kepadaku—kita, tadi. Dia toh tampak seperti laki-laki yang baik. Setiap orang tua punya insting. Tapi tetap saja... berapa tahun lagi? Dua? Tiga? Atau bahkan empat? Memikirkan Jisoo kita akan meninggalkan kita..."

Nada suara ayah Jisoo terdengar murung. Jisoo adalah anak termuda dalam keluarga. Walau tak dapat dikatakan, jauh di dalam lubuk hati setiap orang tua, seberapa kecil pun persentasenya, akan selalu ada satu anak yang menjadi kesayangan.

Jisoo akan selalu menjadi kesayangan ayahnya. Seberapa besar rasa terharu sang ayah ketika menikahkan kakak perempuan Jisoo kepada calon suaminya dulu, kini memikirkan Jisoo pun akan menjalani fase yang sama, membuat laki-laki paruh baya ini gelisah.

"kita tidak akan hidup selamanya di dunia ini. Bayangkan saja ketika tiba saatnya kita pergi, lalu mendapati Jisoo sudah memiliki seseorang yang mendampinginya—menggantikan kita, bukankah seharusnya kita berpikir seperti itu? Jisoo bukan saja kesayanganmu... tapi kita semua. Dia yang termuda di keluarga ini. Secara naluriah, semua orang di keluarga ini ingin menjaganya. Kekhawatiranmu normal... tapi juga tidak mendasar."

Argumen sang ibu menghentikan langkah kaki Jisoo untuk sementara waktu. Tangannya berada di kenop pintu. Ia termenung. Pikirannya berkecamuk, terasa bertikai di dalam kepalanya. Jisoo mengerjap sekali, sebelum kembali mendorong, membuka pintu kamarnya tanpa suara. Pintu pun juga ditutupnya dengan cara yang tak jauh beda.

Di dalam sana, layar laptop masih memendarkan cahaya di suasana kamar yang redup. Kamar ini adalah kamar masa kecilnya. Jika si kamar mampu berkata, menceritakan segala hal yang ia saksikan sejak Jisoo masih duduk di bangku sekolah dasar, entah ada berapa seri novel yang dapat diterbitkan dari sana. Sebagian besar mungkin akan bergenre nonfiksi komedi. Sedikit air mata pasti ada, tapi secara general hidup Jisoo selalu dipenuhi oleh tawa—kebahagiaan. Dulu.

Namun, apa yang disaksikan si kamar selama beberapa hari terakhir, mampu merubah seri terakhir novel menjadi genre yang lebih kelam. Halaman depan si novel pun tak layak jika diberikan warna cerah.

Jisoo menyambangi laptopnya kembali. Ponsel di sebelahnya masih belum memberikan notifikasi baru, mengartikan Haein mungkin belum kembali ke apartemennya.

Benak Jisoo kembali memutar ingatan mengenai apa yang baru saja dibacanya di layar laptop ini. Obat pereda nyeri yang dikonsumsinya, perlahan memperlihatkan efek samping.

Jisoo mencurigai hipotesanya tak mungkin salah. Ia tidak mungkin salah.

Namun, bagaimana pun juga, ia membutuhkan obat itu sebesar ia membutuhkan oksigen untuk bernapas. Tanpa obat itu, nyeri itu akan kembali. Memikirkannya saja membuatnya ketakutan setengah mati.

The Journey To TellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang