[56] Linimasa

2.3K 223 12
                                    

Dalam satu masa, sempat terbayangkan hidup seperti ini. Ketika matamu terbuka, mengerjap sesaat, terbangun dari tidur nyenyakmu, sementara sinaran mentari menyambutmu dengan tenang. Tarikan napasmu terasa begitu teratur, ringan. Seolah tanpa beban. Kemudian, jauh di dalam benakmu, terbersit satu kalimat. Inilah bagaimana satu kata ‘bahagia’ semudah itu terbentuk. Seperti doktrin, seluruh sel pada tubuhmu mengamini bahwa seperti inilah bagaimana setiap orang berhak mengawali hidupnya yang terkadang terasa konstan. Tidak kurang, tidak lebih. 

Dan di sini ia kini, Haein. Terberkatilah ia dengan momen pada satu masa ini. Hatinya bahkan tak mampu berkata-kata, terhenyak dalam kebahagiaan yang dirasakannya. Betapa indahnya dunia yang kini sedang ditapakinya. 

Senin, siang hari selepas waktu makan siang. Haein berdiri membungkuk, menopang kedua tangannya di atas lututnya. Sementara, ia memandangi pot lilin Jisoo yang dasarnya semakin lama semakin kentara. Aroma pepohonan yang sama, terhirup. Haein tahu, si lilin tak akan bertahan lebih lama lagi. Haein lalu tersenyum. Samar-samar, ia dapat melihat jajaran ukiran tulisan yang berada di dasar pot.


“apa kamu sudah berencana memberikan aku lilin aromaterapi ini bahkan sebelum terbang ke Paris?” tanya Haein. Ia menoleh ke arah belakangnya. Di sana, terduduk Jisoo. Tubuhnya tersandar, melesap dalam di sandaran sofa. Sementara, kedua kakinya lurus terselonjor di bantalan. Sebuah mangkuk berukuran sedang, berada di pangkuannya. Mangkuk itu berisi buah stroberi segar. Jisoo, tengah memakan salah satunya, mengunyahnya dengan penuh antisipasi. 

Si perempuan, lalu tertawa kecil, “aku menyiapkan kata-katanya di perjalananku ke bandara.” Terlihat bagaimana mata perempuan ini menyiratkan kebanggaan. Lalu, setelah sesaat memandang Haein, fokus tatapannya kembali teralih kepada layar televisi. Di sana, sedang terputar video, hasil rekaman pendek yang diambil oleh Jisoo menggunakan ponselnya ketika ia dan Haein melakukan perjalanan ke Namyangju. Perjalanan luar kota pertama keduanya. 

“lalu, tiba-tiba idenya muncul begitu saja. Aku menghubungi kenalanku di Paris, meminta bantuannya untuk menanyakan apakah toko itu bisa secara khusus membuatkan pot porselennya untukku.” Cerita Jisoo seraya mengingat-ingat. 

Haein lantas mendeham. Ia berjalan, bergerak kembali menghampiri Jisoo. Ia tampak sedang berpikir, seraya mengangguk-angguk pelan. “kamu sudah menyiapkannya bahkan dalam perjalananmu ke Incheon?” Haein memicingkan matanya. 

“kira-kira seperti itu.” Jawab Jisoo tanpa membalas tatapan Haein. Konsentrasi si perempuan seluruhnya tertuju pada Haein yang terekam di dalam videonya. Laki-laki itu tengah menyetir. Terlihat parka khaki yang hari itu dikenakannya. Rambut Haein pun masih terlihat panjang, sebelum ia memangkasnya kembali untuk keperluan pekerjaan.

Sebagai latar suara, terdengar suara Haein di sana. Ia sedang menceritakan panjang lebar bagaimana lokasi yang akan keduanya datangi hari itu. Dasan.
 
“kamu sudah merencanakannya, hanya beberapa jam setelah kamu tiba-tiba menciumku di apartemenku?” Haein merendahkan tubuhnya, beringsut untuk duduk di sisi kiri Jisoo. Dan, di saat yang sama, Jisoo menghentikan kunyahan stroberi di mulutnya. Bibirnya merapat.  

Sementara, Haein melingkarkan tangan kanannya di bahu Jisoo, bermaksud merapatkan posisi duduk keduanya, “dan kamu juga begitu saja meninggalkanku di sana.” Ucap Haein melanjutkan. Ia menolehkan kepalanya ke arah Jisoo. Dalam jarak yang begitu tipis, wajahnya mendekat. Kini, aroma pepohonan dari lilin aromaterapi itu tak lagi dengan lirih tersesap oleh penciumannya. Ketika Haein berada sedekat itu dengan Jisoo, aroma tubuh sang perempuan lah yang mendominasi. Haein menghirupnya pelan, seakan hidupnya pun bertopang padanya. “kamu pergi tergesa-gesa, setelah menciumku,” lalu sekali ia mengecupkan bibirnya perlahan di pelipis kiri Jisoo.  

The Journey To TellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang