[21] Petunjuk Pertama

2.7K 293 61
                                    

Haein tak berminat menoleh kembali ke belakang setelah meninggalkan si kedai kopi. Sembari terus berjalan beriringan bersama Jisoo, keduanya menuju lokasi mobil Haein terparkir, memasuki kembali mobilnya dan tak butuh waktu lama hingga mobil tersebut mulai bergerak melalui jalan kecil yang sama. 

Selama ini, Haein hanya mendengar sepak terjang Kim Taeho dari cerita orang lain. Ia memutar ulang kembali bagaimana teman aktornya mewanti-wanti dirinya perihal Kim Taeho. Tidak hanya sekali, si teman aktor bahkan menelponnya hanya untuk memberitahu kabar bahwa Kim Taeho telah mendapatkan kontak milik Jisoo.

Sebesar itu usaha si teman, menyempatkan diri hanya untuk menelpon Haein, memintanya segera mengabari Jisoo perihal siapa sebenarnya Kim Taeho. Maka, bukankah Kim Taeho memang benar-benar seseorang yang harus dihindari? Mungkin bukan olehnya, tapi pada dasarnya oleh setiap perempuan. Tak hanya Jisoo. 

Namun, karena Jisoo kini bukan lagi sekedar sahabat baiknya, bukankah Haein harus lebih berhati-hati?

Ia termenung. Konsentrasinya memang sepenuhnya tertuju pada jalanan kecil yang ia susuri. Namun, sorot mata Haein tampak kosong.

"latte-mu?"

Jisoo berada di sisinya, terkunci aman di balik sabuk pengaman. Ia duduk sedikit menghadap Haein. Di tangannya, tergenggam americano miliknya—yang telah sebelumnya ia sesap di dalam perjalanannya menuju mobil tadi. Sementara, Haein belum meminum vanilla latte-nya. Ia masih tersimpan rapi di kompartemen tengah mobil.

Jisoo memperhatikan Haein. Ada alasan mengapa laki-laki ini diam. Seperti diamnya Haein saat mereka berada di perkebunan stroberi di Dasan. Bagi Jisoo, jika Haein diam, artinya sesuatu tengah merundung pikirannya.

"ada apa dengan karangan bunga dan hadiah yang dia katakan tadi?"

Haein mulai meraih latte-nya. Ia melirik sebentar ke arah Jisoo yang masih duduk menghadapnya. Cairan pertama dari vanilla latte itu mengalir perlahan melalui kerongkongannya. Masih panas. 

"o... kamu tidak salah. Latte-nya memang benar enak." Haein berkomentar. Ia menenggak sekali lagi minumannya, seraya menunggu Jisoo menjawab pertanyaan pertamanya.

"dia mengirimkan karangan bunga ke kamar hotelku."

Haein memang mengingat dengan jelas bagaimana Jisoo bercerita bahwa Kim Taeho berada di Paris kala itu. Ia juga ingat bahwa laki-laki itu datang ke kamar Jisoo di malam sebelumnya. Yang tak pernah terpikirkan olehnya, Haein melewatkan fakta bahwa Kim Taeho tidak datang dengan tangan kosong. Tentu saja, setidaknya sebuah karangan bunga akan datang bersamanya. Bukankah memang itu tujuannya? Berusaha mencari jalan menuju Jisoo. Tapi, bahkan sebuah hadiah?

"kami—aku dan sebagian timku sedang berada di luar untuk satu jadwal. Manajerku lalu ditelpon. Ia diberitahu kalau seseorang mengirimiku bunga. Tak hanya bunga, tapi sebuah kotak perhiasan. Isinya gelang—Cartier."

"Cartier?" Haein nyaris tersedak latte-nya. Tak ada nada dongkol pada suaranya. Ia hanya benar-benar tak habis pikir.

"Karangan bunga dan hadiahnya segera dikembalikan hari itu juga. Kita tidak bisa menerima hadiah seperti itu, dengan alasan apapun."

"makanya Kim Taeho datang kembali ke kamarmu? Karena kamu mengembalikan hadiahnya?"

Kim Taeho memang di level yang berbeda. Segala jerih payahnya untuk mendekati Jisoo, butuh diberi penghormatan. Kalimat sarkasme itu terus saja berkutat di benak Haein. Apapun motifnya, Kim Taeho adalah orang yang pantang mundur.

"iya. Walau saat itu dia tidak lagi datang dengan kotak hadiahnya."

Haein terkekeh. Mengagetkan bagaimana Haein benar-benar tak kesal ketika mendengarkan penjelasan Jisoo. Mungkin karena Haein tidak menggabungkan emosi di dalam setiap pertanyaannya. Mungkin karena Jisoo juga tidak menutupi kejadian yang sebenarnya. Mereka saling terbuka. Keterbukaan keduanya, menjadi inti dari percakapan sehat ini.

The Journey To TellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang