[14] Kim Taeho

2.3K 318 54
                                    

Pagi Jisoo dibuka dengan terbangunnya ia dalam keadaan sangat kacau. Kepalanya terasa berputar. Ia tahu penyebab utama mengapa hal ini terjadi. Kejadian semalam tak terelakkan. Ia sendiri yang memutuskan untuk minum bir sebanyak itu. Ingatan di dalam kepalanya kini pun hanya berupa potongan-potongan yang sebenarnya tak mampu ia urai—mana yang nyata, mana yang bukan.

Masih tidak mampu mendudukkan dirinya sendiri dengan benar di atas tempat tidur, di dalam pandangan matanya, ia bisa melihat Haein datang mendekat lalu menyodorkan segelas penuh air putih. Laki-laki ini sudah terlihat rapi. Demi Tuhan, Jisoo telah membiarkan Haein tidur di sofa semalam. Kalau saja ia tidak mabuk, Jisoo bisa berargumen lagi tentang bagaimana keduanya bisa memasang pembatas di tengah tempat tidur untuk memisahkan mereka berdua. Ia tidak akan membiarkan Haein tidur di sofa.

Haein lalu berbicara tentang makan pagi mereka. Jisoo melirik ke arah meja di sisi tempat tidurnya. Kepalanya masih berkunang-kunang. Tidak seluruh ucapan Haein tertangkap oleh indera pendengarannya. Haein berkata tentang kopi tidak bagus untuk diminum oleh orang yang mabuk di malam sebelumnya. Ia tidak membuatkan kopi untuk Jisoo.

Kemudian, Haein datang kembali dengan ponsel Jisoo di tangannya. Jisoo dengan gerakan lemah, menerima ponsel itu dari Haein. Suara Haein kembali bergema di kepalanya. Mengenai ponsel itu terus saja mengeluarkan nada getar dan sebagainya. Jisoo memang tidak memeriksa ponselnya seharian kemarin. Ia tidak membuka satupun pesan atau telepon yang ia terima. Toh, Haein bersamanya. Dan Jisoo seakan merasa itu sudah lebih dari cukup.

"mungkin ada sesuatu yang penting..."

Kali ini, suara Haein terdengar lebih jelas. Jisoo mengangguk pelan. Mungkin memang ada hal penting yang harus segera ia periksa di tumpukan notifikasi ponselnya. Jisoo mengerjap-ngerjap. Ia berusaha menyesuaikan pandangan matanya yang masih kabur ketika memandang layar ponselnya. 

Gerakan jemari Jisoo sangat terbatas. Sesekali menyentuh layar ponselnya dengan asal, membaca sekelebat notifikasi-notifikasi apa saja yang masuk. Huruf-huruf yang muncul di layar itu seakan bergerak-gerak dengan sendirinya. Ia lantas menemukan nama Chaeyoung di antara notifikasi itu. Perempuan ini telah menghubunginya beberapa kali sejak pagi.

"ini... Chaeyoung—Rosé." Suara pertama Jisoo terdengar sangat parau. Kerongkongannya kering. Ia memperlihatkan layar ponselnya ke arah Haein seakan laki-laki ini menanyakannya. Sebaliknya, Haein tidak melakukan apa-apa. Mengangguk pun tidak. Ia hanya berdiri terpaku di sisi tempat tidur Jisoo. 

Haein terbangun pagi ini dengan menemukan Jisoo berpelukan erat dengannya. Ia terkaget. Nyaris ia lupa bahwa hal ini memang benar terjadi. Ini bukan mimpi. 

Haein masih bisa mengingat bagaimana hangatnya napas perempuan ini berhembus di lehernya—salah satu faktor yang membuatnya terbangun. Wajah Jisoo tepat berada di celah leher kiri Haein. Tangan kiri Haein menumpu kepala Jisoo—jemarinya menelusup masuk ke tiap helaian rambut Jisoo, menjaga kepalanya agar tetap pada posisinya. Sementara tangan kanan Haein memeluk bahu kiri perempuan ini. Permukaan bibir Haein nyaris sekali bersentuhan dengan kening Jisoo. 

Haein menelan ludah teramat pelan. Perlahan ia meneliti kembali posisi tidurnya. Tidak ada sedikitpun jarak yang memisahkan mereka berdua. Haein tercekat. Ia pikir ia nyaris kehilangan satu detik tarikan napasnya kembali.

Haein lantas terhenyak. Ia menimbang alasan lain yang mungkin saja menjadi penyebab mengapa tiba-tiba saja dadanya terasa berat. Bukan... pasti bukan itu. Ini terlalu dini, pikirnya. Haein menangkis suara di kepalanya sendiri. Ini pasti hanya karena Jisoo tertidur di dekapannya.

Dibalik isi kepala Haein yang sangat kalut, berbanding terbalik dengan isi percakapan yang sedang terjadi antara Jisoo dan Chaeyoung di dalam telepon. 

The Journey To TellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang