[39] Hari Kunjungan

1.9K 196 64
                                    

Bayangkan ketika engkau membawa sebuah gelas kaca berisikan air hingga ke permukaannya. Kau bawa gelas itu untuk beberapa saat di dalam genggamanmu. Apakah terasa berat? Mungkin tidak. Seakan si gelas dan isinya bukanlah sebuah perkara besar untuk sedikit saja mendapatkan perhatianmu.

Namun, kau lalu terus saja membawanya, tanpa sedikitpun mengurangi muatannya. Ketika satu menit berlalu, berganti menjadi satu jam, apa yang kau rasakan? Masih terasa ringan kah? Tidakkah pergelangan tanganmu mulai terasa pegal? Tidakkah kau akan mulai merasa terbebani? Sesuatu yang di awal bukanlah sebuah masalah, kini perlahan mengusikmu.

Pada awalnya, kau sudah pasti tak menyadarinya. Tetapi, seiring berjalannya waktu, tidakkah timbul penyesalan? Jika saja kau meletakkan si gelas lebih awal di atas meja itu. Mungkin, segala beban ini tak akan pernah ada sedari kala.

Jisoo duduk di hadapan orang tuanya. Ayahnya tepat berada di hadapannya, sementara si ibu berada di serong kanannya. Dengan posisi duduk yang tegap, Jisoo melirik sesaat kepada sang ayah, lalu beralih pada ibunya.

Suara Kim Taeho kembali terngiang di dalam kepalanya. Jisoo seakan mampu mencitrakan bagaimana laki-laki itu bersimpuh di hadapan seluruh keluarganya, mengakui segala kesalahannya. Jisoo memang tak mampu membayangkan bagaimana perasaan Kim Taeho saat itu. Jisoo bukanlah Kim Taeho. Namun, mungkin keadaannya tak jauh beda dengan apa yang sedang dihadapinya sekarang.

Tangan Jisoo terasa dingin. Ia terus menautkan jemarinya di atas pangkuan. Bibirnya terasa berat dan lidahnya kelu. Debaran jantungnya terasa menyesakkan, membuatnya mual, ingin memuntahkan seluruh sisa makanan yang masih berada di dalam pencernaannya.

Jisoo menimbang-nimbang, bagaimana ia harus memulai pengakuan dosanya. Seluruh gladi resik yang ia lakukan semalam, seakan tak ada gunanya kini, menghilang tanpa bekas.

"ayah tahu apa yang ingin kalian katakan." Ujar ayah Jisoo. Wajah seriusnya tampak tenang.

Jisoo dengan cepat kembali menatap ayahnya. Matanya melebar. Kalian? Jelas ada kesalahpahaman di sini. Jisoo yakin ia tak sedikitpun salah dalam mengutarakan kalimatnya beberapa detik yang lalu. 'Ada yang aku ingin katakan kepada kalian', ucap Jisoo. 'Aku' berarti tunggal. Sejak kapan 'aku' berarti jamak?

Tidak, tidak... ada yang salah di sini.

"sudah lama sejak terakhir kali Jisoo tinggal bersama kami. Dia semakin sibuk. Akhirnya, tidak setiap saat kami bisa bertemu dengannya seperti dulu. Mendengar bagaimana kamu selalu menjaganya, kami sangat berterima kasih." Tambah sang ayah.

Sejak awal, perhatiannya memang tak pernah tertuju pada Jisoo. Laki-laki paruh baya ini lebih tertarik untuk melemparkan seluruh konsentrasinya kepada laki-laki yang mengambil tempat persis di sisi kanan Jisoo. Jung Haein.

Dan dengan kecepatan yang sama, Jisoo menoleh ke arah Haein. Laki-laki itu duduk sama tegapnya dengan dirinya saat ini. Lengan panjang kemeja putihnya tergulung rapi hingga sebatas siku. Haein mengistirahatkan kedua lengannya di atas paha. Ia mengangguk sekali, sangat perlahan, seraya membalas menatap ayah Jisoo. Kemudian, pada detik berikutnya, ia menoleh ke arah Jisoo, menatapnya dengan hangat. Haein menarik satu napas panjang.

Ada cerita mengenai mengapa Haein berakhir di kediaman orang tua Jisoo hari ini. Semenjak hari di mana Jisoo memutuskan tinggal bersama keluarganya untuk sementara waktu—imbas dari mimpi buruknya, hanya dalam hitungan hari hingga Haein mengabarkan kapan ia bisa kembali ke Seoul untuk menemui Jisoo. Laki-laki itu terlalu mengkhawatirkan Jisoo. Tak ada malam terlewati tanpa sambungan telepon darinya, untuk sekedar mengetahui keadaan Jisoo. Di malam hari, Haein menemaninya mengobrol, hingga Jisoo terlelap, tampak tenang, terlihat dari tangkapan layar video call mereka.

The Journey To TellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang