CHAPTER 32 : Perpisahan

13 2 0
                                    

"Barrack, mengapa kau melakukan ini?"

Barrack menolehkan kepala ke arah suara lembut itu bertanya. Di dalam sebuah rumah kayu dengan aroma lapuk, Barrack duduk di sebuah kursi yang nyaman dengan sebuah meja bundar yang menyajikan secangkir teh chamomile dan sepiring kue jahe serta penerangan remang dari cahaya kuning lentera. Dia meraih secangkir teh itu, lalu menyesapnya dengan penuh kenikmatan selagi mendengarkan suara itu berbicara.

"Kau telah menyakiti seseorang."

Bibir cangkir yang menempel di bibirnya berhenti sejenak ia sesap seakan tersadar sesuatu telah terjadi. Rasanya sudah cukup lama ia duduk di dalam rumah tersebut di tengah keheningan dan tenggelam dalam kepasrahan.

Barrack menjauhkan cangkir tersebut dari bibirnya, lalu meletakkannya perlahan ke atas meja dan menoleh ke asal suara yang sedaritadi berbicara dengannya.

"Siapa?" Tanya Barrack. "Siapa yang telah kusakiti?" Dia bertanya lagi, masih belum sadar.

Suara itu terdiam.

"Ibu, siapa yang telah kusakiti? Aku hanya diam duduk di sini sendirian, aku tidak menyakiti siapapun." Ujar Barrack lagi.

Marina. Ibunya itu menemukan Barrack berada di suatu realitas sendirian, terlihat seperti tidak menyadari apa yang telah terjadi pada dirinya. Realitas roh. Tempat tersunyi yang berada di tengah antara Surga dan neraka.

"Kau belum mati, tetapi kau sudah berada di sini, Barrack." Marina berkata, "ibu ada di sini, karena ini adalah dunia roh. Kau masih berjalan di dunia fana dan kau telah menyakiti kakakmu sendiri Allegian."

Barrack hendak kembali meraih cangkir teh nya yang saat ini sudah berada di dalam genggamannya, namun lagi-lagi dia menghentikan aktivitasnya padahal awalnya dia merasa tidak ingin memedulikan siapapun.

"Sebentar lagi dia akan mati. Kau telah menusuknya dengan pedangmu."

PRANK!

Cangkir berisi teh itu terjatuh dari genggaman Barrack tak kala telinganya mendengar ucapan sang ibu. Tubuhnya membeku di tempat, tatapannya lurus ke arah lentera yang mulai menyakiti kedua matanya, dan jantungnya berpacu dengan cepat. Dia bahkan tidak menyadari keberadaannya di sana dan juga tidak mengingat apa yang telah terjadi hingga ia bisa tiba di tempat tersebut. Barrack bahkan tidak tahu dirinya masih hidup atau sudah mati dan juga tidak menyadari apa yang telah ia lakukan.

"Aku..." Barrack berucap pelan, memberi jeda pada ucapannya, "...membunuh kakak?"

Marina menitikkan air mata dan berjalan mendekati Barrack. Ia berlutut di hadapan Barrack dan menggenggam kedua tangan putra nya.

"Kau berada di dunia roh sendirian, Nak. Allegian mengirimmu kemari dan membangkitkan sisi lain dari dirimu yang menyakiti banyak orang, jika tidak segera dihentikan. Sedikit lagi kau menggapai Jenna dan akan membunuhnya, jika kau tidak segera kembali, maka Jenna akan mati di tanganmu."

Barrack terbelalak kaget. Dia langsung menatap Marina dengan tatapan membendung air mata dan bibir yang bergetar. "Jenna? Aku... akan membunuhnya?"

Marina mengangguk, mengusap air mata Barrack dengan cepat. "Kau harus kembali, segera."

Barrack mengerjap, melihat sekelilingnya dengan kebingungan. "Tapi, aku tidak tahu bagaimana caranya kembali. Aku bahkan tidak ingat sudah berapa lama aku di sini, ibu."

Marina bangkit berdiri dan memeluk putranya, mengelus puncak kepalanya sementara Barrack menangis sejadi-jadinya.

"Aku tidak ingin membunuh Allegian, Ibu. Aku juga tidak mau menyakiti Jenna. Aku ingin segera sadar dan kembali." Kata Barrack di sela tangisannya.

Pure DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang