CHAPTER 20 : Sebuah Janji

22 4 0
                                    

"Mau kopi?"

Barrack terdiam sejenak sebelum akhirnya ia menatap Hauser dengan sorot mata kebingungan. "Apa itu kopi?"

Hauser menahan nafas untuk beberapa saat. Pria tua itu terenyak dan sedetik kemudian baru mengingat kalau lelaki di hadapannya saat ini bukanlah manusia biasa.

"Bagaimana dengan teh?" Hauser menaikan sebelah alisnya, menunggu jawaban dari Barrack.

Kemudian, Barrack teringat bahwa setiap pagi Jenna menyajikan panekuk dengan secangkir teh hangat. Teh melati berbau harum dan terasa sangat manis di lidah.

"Ah, ya. Teh melati?"

Hauser tersenyum kecil. "Di sini tidak ada teh melati, Nak. Teh mawar, kau mau?"

Barrack menganggukan kepalanya tanpa ragu. Lalu, Hauser melangkah pergi sebentar meninggalkan Barrack yang duduk termenung menghadap ke luar jendela transparan di dalam ruangan Hauser. Jendela kaca transparan itu menyajikan pemandangan taman bunga mawar yang ada di pekarangan belakang gedung institusi tersebut. Hamparan bunga mawar merah yang berpadu padan dengan rumput hijau segar nan indah. Sungguh pemandangan yang tidak pernah Barrack lihat.

Ketika mata nya bergulir ke sisi lain pekarangan--Barrack mendapati keberadaan seorang gadis berambut merah tua persis seperti warna merah bunga mawar yang tertanam indah di bawah sana. Gadis berambut merah itu terlihat sedang memandangi hamparan bunga mawar di depannya sesaat sebelum ia menggunting dua tangkai bunga mawar merah yang mekar dan besar. Kemudian, gadis itu tak berhenti di situ saja, namun ia lanjut melangkahkan kakinya menuju ke arah sebuah batu yang tertanam tak jauh dari kebun bunga mawar tadi.

Barrack memiringkan kepalanya sembari menyipitkan kedua matanya untuk melihat apa yang sedang dilakukan oleh gadis berambut merah yang tak lain dan tak bukan adalah Natasha. Natasha berlutut di sisi batu tersebut, lalu meletakkan dua tangkai bunga mawar dalam genggamannya ke dekat batu, dan ketika Barrack melihat dengan lebih seksama lagi--terdapat gundukan tanah yang tertutup oleh rumput tepat di depan batu yang tertanam di tanah itu.

Akan tetapi, di saat Barrock tengah sibuk memperhatikan gerak-gerik Natasha, bunyi cangkir bergemelatuk lembut terdengar diletakkan di atas meja yang saat ini menjadi tempat perjamuan dirinya. Barrack refleks menolehkan kepala dan mendapati Hauser yang meletakkan secangkir teh di hadapan Barrack sebelum akhirnya pria tua itu mendaratkan bokong di kursi yang berhadapan dengan Barrack meski mereka terpisah oleh meja kayu sederhana berbentuk persegi.

"Terima kasih." Ujar Barrack.

Hauser mengangguk singkat. Barrack menyeruput teh yang dijadikan oleh Hauser selagi pria tua itu melirik sekilas ke arah luar, lebih tepatnya ke pekarangan yang ada di bawah sana. Hauser melihat pemandangan Natasha yang hampir setiap hari gadis itu lakukan. Melihat Natasha yang berubah drastis ketika bersimpuh di sisi batu nisan yang sudah tertanam di bawah sana bertahun-tahun lamanya.

"Apa yang kau lihat di bawah sana sampai terpaku, Nak?" Tanya Hauser setelah Barrack meletakkan kembali cangkir teh nya.

Barrack beralih kembali menatap Natasha di bawah sana yang masih senantiasa duduk merenung. Meski Barrack tak bisa melihat wajah Natasha dengan jelas dalam jarak sejauh itu, tetapi ia tahu Natasha menyimpan sebuah kesedihan.

"Dia. Mengapa dia duduk di dekat batu itu?"

Hauser menyesap secangkir kopi hitam miliknya, kemudian ia menghembuskan nafas singkat. "Seseorang yang sangat berharga dalam hidupnya telah tiada dan terkubur di bawah batu nisan itu."

Barrack langsung menatap Hauser dengan tatapan terkejut, "kalau aku boleh tahu, siapa yang dikubur di sana?" Tanya Barrack pelan

Hauser tersenyum tipis, mata nya tertuju pada Natasha. Sosok gadis tangguh yang selama ini tinggal bersamanya dan sudah ia anggap seperti putri nya sendiri.

Pure DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang