"Barrack."
Barrack berdiri di tengah-tengah hamparan rumput yang luas bersiram cahaya matahari yang menghangatkan seluruh tubuhnya sampai ia lupa bagaimana rasanya berada di musim panas yang menenangkan ditemani oleh panekuk buatan Jenna di pagi hari. Suara itu kembali menyebut, memanggil nama kelahirannya sehingga Barrack tersadar.
"Di mana aku? Siapa di sana?" Barrack menolehkan kepala ke asal suara dan ia melihat sosok wanita itu lagi. Sosok wanita anggun bergaun putih.
Marina.
"Ibu?" Barrack mengernyit kecil. Ibunya tersenyum tipis dan perlahan melangkah mendekatinya.
"Kau sudah mendapatkan hampir seluruh ingatanmu, Nak." Wanita itu menyentuh pipi Barrack dengan lembut sampai ia terpejam merasakan betapa dinginnya telapak tangan wanita yang telah melahirkannya itu.
"Ya, Ibu. Hampir. Tapi, aku tidak tahu apakah aku siap atau tidak." Barrack menjawab dengan suara parau. Dia ingin menangis.
Saat ini Barrack membutuhkan orang-orang yang bisa dia percayai, namun yang paling dia percayai perlahan satu-persatu mulai tumbang. Begitupun Jenna. Dia masih belum bisa mengetahui keadaan gadisnya.
"Kau putra ibu. Maka dari itu kau harus segera sadarkan diri, Barrack." Bisik Marina dan menangkup kedua pipi Barrack--membuat pria itu menatap wajahnya.
Kedua mata Marina terlihat berkaca-kaca. Dia menahan tangis sebelum berkata, "kau harus bangun. Kau berada di bawah pengaruh ketakutan terbesar yang dibuat oleh Kesatria Iblis itu, Nak. Kau harus sadarkan diri! Teman-temanmu berada dalam bahaya. Termasuk Jenna."
Kedua mata Barrack membelalak lebar, dia mengerjap. Ini semua terasa nyata. "Tapi, Bu, aku--"
"Dia memanfaatkan ketakutan terbesarmu. Jika kau tidak segera sadar, maka semuanya akan hilang sia-sia."
Barrack mau berucap lagi, akan tetapi mulutnya terkatup rapat, tertutup seperti diberi perekat sampai ia mengernyit panik. Perlahan dia hanya bisa melihat gerak bibir Marina yang berucap 'bangun!' Dengan raut wajah yang penuh penekanan bahwa Barrack benar-benar harus sadarkan diri. Tak terdengar suara apapun, namun sedetik kemudian Barrack tersadar dengan rasa sakit yang sangat luar biasa menjalar dari punggung hingga ke leher nya. Sendi nya terasa baru saja dipukul menggunakan kayu berduri berkali-kali.
Barrack mengerang, meringis kesakitan, dan mengerjapkan kedua matanya sembari mengumpulkan penglihatannya serta kesadarannya kembali.
Napas Barrack terengah-engah. Kedua mata nya nyalang menatap ke sekitarnya begitu dia sadar dirinya terduduk di sebuah kursi baja dengan rantai panas yang mengikat kuat pergelangan tangan dan kakinya.
"Wah, wah! Kau sudah sadar rupanya, Adikku." Suara tepukan tangan disertai ucapan menggema seseorang bernada berat itu terdengar dari arah kanannya.
Sosok itu datang menghampiri Barrack dengan senyuman yang menyimpan sejuta amarah untuknya. Namun, Barrack tak mau kalah. Sorot mata nya yang dingin menyiratkan bahwa dia ingin menghabisi sosok yang baru saja menghampirinya saat ini. Barrack tahu bahwa sosok ini lah yang telah menciptakan kegilaan sedemikian rupa.
"Di mana Jenna?" Barrack bertanya, dengan nada rendah dan tertahan. Rantai besi panas yang melilit pergelangan kaki dan tangannya tidak dapat mengalahkan rasa amarah yang menggebu-gebu dalam dirinya.
"Oh?" Sosok itu menautkan jemarinya di belakang tubuhnya sembari berdiri beberapa langkah di hadapan Barrack, "dia ada. Dia ada di suatu tempat yang dekat denganmu, jangan khawatir, Adik." Sosok itu mengibaskan tangan kanannya ke udara dengan bahasa tubuh meremehkan.
Hal itu membuat Barrack semakin ditelan amarah.
"Aku bertanya, di mana Jenna, Brengsek!" Barrack mulai sedikit meninggikan suaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pure Devil
FantasyHanya seorang iblis yang murni berhak mengetahui masa depan dan masa lalunya. Iblis yang tidak tahu jati dirinya dan selalu di kucilkan dari kaumnya. Tidak di cintai oleh siapa pun. Sampai akhirnya, ia di buang dari negerinya ke tempat yang tidak se...