CHAPTER 33 : Pesan Terakhir

14 2 0
                                    

"Hei..."

Barrack mencari suara serak dan parau milik seseorang yang ia kenali ternyata berasal dari arah dinding terbelakang dan terpojok dari tempat Natasha serta Ares berada. Di sana Allegian melambaikan tangan kanannya dan memilih untuk bersender di dinding, karena ia sadar sedaritadi dirinya sudah merepotkan Hauser, karena pria tua itu rela membiarkan tubuhnya menjadi senderan seorang raja iblis seperti dirinya.

Barrack langsung bangkit berdiri dan berjalan sempoyongan bahkan nyaris tersungkur, jika saja Jenna tidak merengkuh tubuhnya yang jelas dua kali lebih besar darinya.

"Sam, hati-hati." Ucap Jenna.

Barrack sudah tidak mempedulikan dirinya lagi. Terjatuh tersungkur bahkan dihujam tombak pun Barrack tidak peduli, karena semua itu tidak sebanding dengan apa yang telah ia lakukan kepada Allegian dan juga Natasha.

"All.. kakak." Barrack kembali menitikkan air mata, tidak berhenti menangis.

Allegian menggenggam tangannya dan tersenyum tipis menatap adiknya ternyata bisa kembali lagi.

"Kau kembali," Allegian menghela napas seadanya, karena setiap kali dia menarik napas panjang--luka di dadanya terasa begitu menyakitkan. "Aku pikir, tidak ada yang bisa membawamu kembali setelah apa yang aku lakukan kepada dirimu."

Senyuman Allegian memudar, wajahnya muram diselimuti kesedihan dan duka yang telah lama ia simpan kini telah kembali lagi. "Cronisiant lah yang telah membunuh Ayesha," kata Allegian dengan nada teramat rendah.

Barrack berhenti menangis dan mengatupkan bibirnya. Dia melihat kilat kesedihan yang terpintas dalam mata Allegian, karena Barrack tahu betapa kakaknya itu sangat mencintai sosok malaikat seperti Ayesha.

"Cronisiant?" Barrack membeo.

Allegian tersenyum miris dan mengangguk perlahan. "Ya, dia yang telah membuhuh Ayesha dan membuat kaum kita berperang saat itu."

Barrack langsung menoleh ke kanan dan ke kiri dengan cepat seperti sedang mencari keberadaan seseorang.

"Dia sudah mati. Aku sudah membunuhnya."

Barrack terkejut, "apa?"

"Aku membunuhnya. Dia tak pantas hidup, begitu juga denganku." Jawab Allegian.

Barrack menggelengkan kepalanya, "kau harus bertahan. Luka ini pasti akan sembuh, kau kuat. Kau--"

"Luka ini tidak akan sembuh, Barrack." Allegian melirik sekilas pedang milik Barrack yang tergeletak di tempatnya berdiri terakhir kali, "kau lupa? Pedangmu itu bukan pedang biasa." Allegian tersenyum geli. Baginya itu seperti lelucon, tetapi membuat Barrack semakin merasa sedih dan terpukul.

Allegian berdecak dan menepuk-nepuk punggung tangan Barrack yang ia genggam. "Sudah, sudah, cukup. Kau tidak perlu menangisi yang terlah terjadi, karena yang terjadi bukanlah pilihanmu."

Barrack mengusap air matanya perlahan, "kau... hanya kau satu-satunya yang kumiliki, All." Barrack berucap dengan nada bergetar dan sesenggukan seperti anak bayi.

Allegian tersenyum. Terakhir kali ia melihat adiknya menangis saat ini adalah saat ayah mereka menitipkan dirinya kepada Allegian sebelum wafat. Saat itu Allegian memeluk Barrack, tubuh mereka memiliki ukuran yang jauh berbeda, karena jarak umur mereka terpaut cukup jauh meskipun Allegian saat itu masih seperti bocah berumur 12 tahun dan Barrack hanyalah anak kecil berumur 5 tahun yang rindu kasih sayang ibu juga ayahnya.

"Maafkan aku, ya?" Allegian berucap pelan, membuat Barrack menengadahkan wajahnya menatap Allegian dan berhenti menangis.

"Aku tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang berbeda dengan kaum kita. Aku juga tahu kau mencintai seorang manusia, tetapi bodohnya aku ingin memisahkan kalian berdua." Allegian tersenyum sedih, "aku berharap setelah kematianku nanti, kau bisa melanjutkan hidupmu dan mungkin menggantikan posisiku untuk menjadi lebih baik, tidak sepertiku. Aku juga berharap setelah kematianku Tuhan mengizinkan aku untuk bertemu dengan 'bunga soba' ku, Ayesha-ku tercinta."

Pure DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang