CHAPTER 1: Pertemuan Pertama

264 18 0
                                    

"Jenna! Aku akan ada di sini. Bersamamu. Selamanya."

Gadis itu terbangun dengan kondisi menyedihkan. Napasnya terengah-engah, kedua matanya terbelalak lebar, tubuhnya pun bergetar hebat. Keringat bercucuran dari keningnya. Mimpi buruk itu datang lagi setelah sekian lama Jenna menjalani kehidupannya yang monoton. Jenna kembali menghempaskan kepalanya ke bantal. Dia tidak ingin munafik, jujur saja, dia ketakutan setengah mati melihat sosok pria yang hanya menyerupai bentuk berwarna hitam pekat. Berdiri di bawah pohon ek dan di atasnya terdapat sambaran kilat dari langit. Gemuruhnya yang membuat Jenna terbangun dari tidurnya. Jenna tidak mengerti apa arti dari mimpi itu dan menganggapnya sebagai bunga mimpi. Tangan kanan Jenna masih menggenggam erat selimut yang menutupi setengah tubuhnya. Gadis itu memejamkan kedua mata dan berusaha untuk mengatur napasnya. Saat ia membuka kembali kedua matanya, dia tak sengaja melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul empat pagi.

Jenna mengurungkan niatnya untuk kembali tidur. Dia segera bangkit, menyeka meringat, lalu memakai hoodie abu-abu miliknya dan memasang celana training. Setidaknya untuk menyingkirkan perasaan resah akan mimpi itu, Jenna harus berolahraga, mengelilingi pekarangan kuburan, lalu kembali lagi ke rumah.

~~¤~~

"Mimpi buruk lagi?"

"Ya."

"Mimpi buruk yang sama?"

"Benar."

Jenna menyesap teh hangat yang sudah di siapkan oleh Mia--kakak perempuannya yang umurnya berbeda enam tahun dengannya. Jika saat ini umur Jenna baru tujuh belas tahun, maka umur Mia sudah 23 tahun.

"Jadi ... itu sebabnya kau berlari pagi?" Tanya Mia seraya menarik punggung kursi meja makan dan mendaratkan bokongnya di sana.

Jenna mengangguk, lalu menyesap kembali teh hangatnya seraya melirik Mia yang menatapnya dengan tatapan termangu.

"Apa?" Jenna mengulum bibirnya.

Mia mengedikan kedua bahunya. "Tidak ada. Hanya saja, kau berubah sejak kematian ibu."

Jenna menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir teh di genggamannya ke atas meja. "Ya, aku tahu," tatapan kosong Jenna lurus ke depan.

Mia mengusap badan cangkir miliknya. Dia turut prihatin melihat kondisi adiknya yang hidup sendirian di rumah ketika ia harus pergi ke kota dan bekerja di sana. "Apa sebaiknya kau ikut denganku saja ke kota besar?"

Jenna melirik Mia, kemudian menggelengkan kepalanya pelan. "Bukan opsi yang bagus."

"Itu lebih baik daripada kau harus tinggal sendiri di sini, Jenna."

"Aku tidak apa-apa. Jangan khawatirkan aku dan fokus pada pekerjaanmu."

Mia menghela napas panjang. Dia tahu adiknya keras kepala dan tidak akan pernah menyetujui rencananya ini.

"Bagaimana sekolahmu?"

"Lancar."

"Kau tidak mengalami masalah pembullyan, 'kan?"

Jenna menatap Mia dengan tatapan aneh. "Serius?"

Mia terkikik. "Mungkin saja."

Pure DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang