Bab 17 - UNSUITABLE SHOES

18 4 0
                                    

Theo terbangun dengan kepala pusing ketika pintu diketuk. Seorang perawat masuk dengan nampan berbahan stainless, di atasnya ada semangkuk bubur dari nasi, dua potong ikan salmon dan brokoli rebus yang menguarkan aroma tanpa rasa. Theo sempat berterima kasih sebelum mulai mengisi mulutnya dengan satu suapan penuh yang setengahnya dimuntahkan kembali karena terlalu panas.

Adegan jorok itu terjadi ketika pintu terbuka lagi.

Kali ini Thalia yang masuk, kedua mata Theo membulat—ia sebenarnya setengah ragu jika benar-benar Thalia yang masuk karena saat itu sepasang mata rabunnya tidak dipersenjatai kacamata. Theo hampir tersedak buburnya sendiri ketika Thalia benar-benar mendekat dan duduk di sisinya. "Apa yang kau lakukan di sini?! Jangan bilang kau memanjat jendela dan menerobos keamanan?!"

"Anak nakal! Kau pikir ibumu ini sebar-bar itu?!" Thalia mengamuk, menyamankan posisi duduk di kursi yang menghadap Theo, jaketnya sempat tersangkut. "Aku akan melakukannya jika sampai pukul sembilan malam mereka tidak mengizinkanku masuk. Tapi mereka mengizinkan dan ini belum pukul sembilan, jadi tidak—aku tidak melakukan itu."

Theo menatapnya dengan tatapan ragu sambil menyesap bubur. Thalia menggebuk kepalanya keras-keras dengan kipas tangan.

"Bisakah kau lebih detail ketika menghubungi orang tuamu, bocah tengil?!"

"Tidak." Theo kembali dipukul—ia meringis seperti bayi kuda. "Ini rahasia pekerjaan!"

Thalia mendengus, ia ingin mencekik Theo agar mengeluarkan detail yang ia inginkan tapi Thalia tahu itu tidak akan berhasil, jadi wanita itu memilih untuk menyerah. "Kapan kau bisa pulang?"

"Tidak tahu, mungkin minggu depan."

"Lama sekali?" Thalia mengerutkan dahi.

"Memang," Theo selesai dengan makan malamnya, menghabiskan brokoli rebus yang tersisa. "Tapi mungkin bisa lebih cepat jika ada regulasi baru."

"Kapan kau bisa dijenguk dan ditemani rawat inap?"

"Aku bahkan baru tahu aku boleh dijenguk." Theo kembali digebuk.

"Aku harus kembali ke sekolah, baguslah jika kau memang tidak apa-apa." Thalia menghela napas pendek. "Kabari jika kau butuh sesuatu."

"Kau akan mengantarkan apapun itu?"

"Tidak, aku akan menyuruh Akane."

"Cih, tidak perlu repot repot." Theo menegak air minumnya.

"Kalau begitu aku akan pulang."

"Dengan siapa?"

Thalia keluar tanpa menjawab, meninggalkan pintu terbuka sedikit, Theo bisa melihat Krinkels berada di luar rungannya, menunggu Thalia. Theo tidak berpikir terlalu panjang tentang hubungan ibunya. Theo sebenarnya tidak terlalu peduli, ia tahu Thalia memiliki kepribadian yang agak lain—tapi anak mana yang tidak was-was ketika ibunya didekati pria lain?

Theo menghalau pikiran itu cepat-cepat, mendistraksi otaknya dengan membereskan sisa makan, meminum obat pereda nyeri kemudian berbaring seperti anak baik ketika pintunya terbuka lagi.

Bukan Thalia yang kembali karena melupakan barangnya, hanya He Zhao dan sekantung jagung rebus.

"Kau ... baik-baik saja?"

He Zhao tidak tahu kenapa rasanya aneh sekali melihat Theo disambung oleh empat alat medis yang ia tidak mengerti. Theo tidak tampak mengenaskan, tapi pemandangan di depannya benar-benar memberikan imajinasi terburuk yang terbawa ke permukaan. He Zhao tidak bisa tidak panik.

"Aku baik-baik saja," Theo mengangguk. "Duduklah, dan simpan jagungnya di meja. pasti berat membawa itu."

He Zhao duduk, tapi menolak melepas jagung yang ia bawa.

Candle Within The WindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang