Bab 12 - SOCCER

27 4 4
                                    

Lima menit, tidak mungkin itu lebih, Theo tidak bisa memastikan berapa lama bibir mereka saling menempel dengan erat tapi lima menit adalah dugaan paling sebentar yang bisa ia kira. He Zhao baru melepaskan pagutannya saat Theo menepuk pipi pria itu, setengah menampar saat merasa pasokan udara semakin menipis—ketakutan setengah mati He Zhao hendak menghisap jiwa dan nyawanya serta. Seolah semua napasnya telah ditelan oleh He Zhao bersamaan dengan pria itu menelan dan menghisap lidahnya. Benang saliva di celah bibir mereka terputus saat He Zhao menarik diri. Pandangan pria bersurai acak itu tampak tak fokus.

Satu detik..

Dua detik..

Di detik ke lima, He Zhao membolakan matanya. Sebesar bola sepak yang menabrak belakang kepalanya beberapa saat lalu. He Zhao sempat merasa linglung saat bola itu menghantam tengkoraknya, setengah bermimpi ia merasakan bibir kenyal Theo di bibirnya sendiri. Belajar dari pengalaman, He Zhao tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mencium Theo walau sekadar di khayalannya. Karena itulah, ia menggerakkan bibir dan menyesap bibir Theo dengan rakus untuk memuaskan dahaganya.

Jackpot, kali ini bukan sekedar khayalan di siang bolong.

"A-aku." He Zhao tergagap, apalagi saat melihat mata Theo tampak kosong, menatap ke arahnya dengan bibir yang membengkak karena dicium dengan ganas beberapa saat lalu.

"MAAFKAN AKU!" He Zhao melompat dari kursi, naik ke meja dan bersujud di hadapan Theo.

"Aku.. a-aku, bibirmu sangat enak!"

"....."

Wajah Theo semakin datar ketika mendengar ucapan He Zhao, mungkin benar jiwanya dihisap serta oleh pria berdarah cina ini beberapa saat lalu, menyisakan raga seorang forensik terduduk dengan bibir bengkak. Satu menit lamanya, Theo menatap He Zhao yang senantiasa menekan jidatnya ke meja, pria yang baru saja kehilangan ciuman pertamanya itu menghela napas kasar. 

Theo menepuk pundak He Zhao pelan, ia tidak tahu apa yang ada di kepala He Zhao, dan ia sendiri cukup dewasa untuk tidak menangisi ciuman pertamanya yang diambil oleh pria lain. Lagipula, jika He Zhao sampai tahu itu ciuman pertama bukankah itu hanya membuat semuanya terasa memalukan? Theo hanya tahu ia tidak menarik, dan tidak ingin membuatnya begitu kentara. Itu hanya ciuman, bukankah itu hal lumrah dan hanya sekadar salam? Walau Theo tahu mereka sedang tidak berada di Perancis dan tidak yakin salam akan melibatkan lidah dan hisapan yang membuat bibir kebas.

"Tidak apa. Aku baik-baik saja." Theo menormalkan ekspresinya, dia sadar telah menjadi pria dewasa ketika ia khawatir apapun bentuk raut yang ia keluarkan sebelumnya menyinggung He Zhao—yang sekarang sedikit ia pertanyakan ketertarikan seksualnya.

"Tapi—"

"Shit, ternyata di sini! Rod fucking gross kenapa juga kau menendang bola sampai sejauh ini!" seorang bocah, kira-kira berumur sembilan membungkukkan tubuhnya untuk mengambil bola yang menghantam kepala He Zhao tadi. "Kenapa dia duduk di atas meja? Orang aneh."

Theo menoleh pada sumber suara, lalu melirik He Zhao sebentar sebelum merespon si bocah dengan wajah tengil di depannya. "Jangan dihiraukan."

He Zhao mengangkat kepalanya, sadar sedang dibicarakan. Ia siap melemparkan umpatan dan kemarahan, namun mengingat karena bola itu ia dapat merasakan bibir Theo, He Zhao meredam kemarahannya.

"Hei, kids berhati-hatilah dengan bolamu. Kau tidak akan pernah tahu insiden apa yang akan terjadi jika bola itu salah sasaran," ucap He Zhao yang berusaha terdengar sebijak mungkin, menansehati padahal dalam hati masih berbunga—diam-diam berterimakasih karena sudah dihantam bola.

"Not my fault." Anak laki-laki itu mengangkat bahunya kasual, lalu beranjak untuk kembali bermain bersama anak laki-laki bernama Rod yang baru saja ia umpati.

Candle Within The WindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang