BAB 33 - PIECE OF THE SHIT

14 4 1
                                    

Waktu tempuh yang paling singkat untuk mencapai Nevada dari London adalah 10 jam dengan maskapai British Airways melalui rute nonstop ke Las Vegas, sudah sangat singkat jika dibandingkan dengan rute yang lain.

Preferensi pribadinya, Aiden lebih suka perjalanan dengan waktu tempuh paling lama dengan pemberhentian paling banyak—pria itu senang menghabiskan waktu di tempat asing—mencari kesenangan di saat penumpang lain panik dan geram saat penerbangan mereka tertunda. Jika ia memang bisa memilih mungkin Aiden akan mengambil rute menuju Las Vegas dengan pesawat yang memakan waktu tempuh 19 jam, kemudian saat sudah mendarat di Las Vegas ia akan mencari angkutan umum yang akan membawanya memutari Las Vegas sebelum sampai di Nevada.

Bradley Ford tidak mengizinkan itu.

Situasinya terlalu genting dan pria itu bilang seseorang sudah menghabiskan beratus-ratus juta dollar supaya Aiden bisa sampai kurang dari 12 jam di Nevada. Aiden tidak percaya, tetapi perjalanan sesingkat itu tidak mungkin bisa didapatkan dengan uang seadanya. Ia sebenarnya tidak pernah menyangka akan kembali menjejakan kaki di Amerika setelah beberapa tahun pergi dari sana, apalagi untuk bertemu dengan pasien pertamanya.

Aiden mengenal Theo, meskipun ia tidak terlalu ingat kisah mengenaskan apa yang Theo tempuh saat itu, masih segar di ingatannya bahwa ia menangani Theo untuk tugas akhirnya sebagai mahasiswa kedokteran psikologi. Sisanya entahlah, Aiden terlalu girang saat ia melihat ranjang empuk di hotel yang sudah dipesan atas namanya untuk sepuluh hari. Ia hanya berencana untuk beristirahat total malam ini. Walau begitu yang ia lakukan setelahnya memeriksa ponsel dan tersenyum kecil saat ada satu pesan dari seseorang yang menanyakan bagaimana penerbangannya.

Jadi, Aiden memutuskan untuk menelpon orang itu terlebih dahulu. Sesekali menggodanya dan tertawa saat lawan bicaranya disebrang sana terdengar kesal. Ah, ia akan merindukan orang itu selama bertugas di sini.

***

Victor tidak tahu sejak kapan Theo sudah sadarkan diri, berbeda dengan kondisi saat ia meninggalkannya tadi malam untuk beristirahat, Theo berbaring menyamping, menghadap jendela terbuka dengan tirai yang diikat agar tetap berada di samping. Fokus Theo terpaku pada vas bunga dengan replika bunga matahari, sesekali jemarinya menyentuh daun yang palsu itu, menekan tetesan air buatan yang sebenarnya resin kering. Dokter bertubuh besar di sana melirik jam dinding, menurut perkiraan Bradley Ford seharusnya dokter Aiden Frost akan datang dalam 20 menit.

"Kau sudah bangun," ucapnya saat duduk pada kursi di sisi ranjang, menatap punggung Theo yang kini dibalut pakaian untuk pasien rawat inap rumah sakit. "Kau mau makan sesuatu?"

Hening.

Hanya ada suara dari ujung kuku yang mengetuk-ngetuk resin mengeras.

"Theo?"

"Apa kau akan menahanku?"

"Kau lupa aku rekan sejawatmu dan bukan seorang polisi?" Victor menghela napas, melipat kedua lengannya di depan dada.

Ruangan rawat inap tersebut kembali sepi, Theo tidak mengatakan apa-apa ataupun berbalik. Ketukan pada resin mengeras bersambung lagi, kali ini kedengarannya bersahutan dengan detak jarum jam dinding. Victor sendiri juga tidak bersuara, ia mengenal dirinya lebih dari siapapun—dan ia hafal jika ia bukan orang yang pandai merangkai kata-kata menenangkan—seperti Bradley Ford. Ia tahu diri jika ia kaku, dan Theo saat ini tidak sedang dalam kondisi stabil untuk menerima kata-katanya yang mungkin perlu dicerna dengan mental yang kuat karena Victor sendiri tidak bisa menjamin kalimatnya mudah untuk diterima.

Victor memilih bungkam, di dalam bungkamnya ia tidak kalah putus asa meskipun tidak bisa dibandingkan dengan Maximilian atau Thalia. Jika ada posisi ketiga, mungkin ia ada di sana. Mengesampingkan misi mencari sumber Merlion, Victor merasa kekalahan terbesar dari pertempuran tak kasat mata ini adalah dengan kehilangan rekan sejawat yang bisa berjalan dengannya—lebih jauh dari itu—Theo sudah terasa dekat untuk dirinya sendiri. Ada sisi sosok ayah yang bangkit padanya ketika Theo berada dalam pengawasan dan bimbingannya. Jauh dari penampilan Victor yang masih kuat dan stoik, isi hati pria besar itu penuh dengan doa.

Candle Within The WindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang