Amara mengetuk-ngetukkan hak sepatunya ke lantai semen di rooftop kantor sambil melipat tangannya. Cemasnya sekarang bercampur dengan kesal. Pikirannya berputar silih berganti, tidak percaya.
Masa Aldrian sih? Nggak mungkin Aldrian? Tapi kok buket bunganya mirip banget sama yang biasa gue terima?
Lamunan Amara terhenti ketika ada suara tegas yang memanggilnya dari belakang.
"Ada apaan sih, Mar? Cepetan kalo mau ngomong. Gue ada meeting sepuluh menit lagi."
Di tengah tiupan angin yang lumayan kencang, Amara menggeser tubuhnya hingga akhirnya tertutup dinding beton.
"Al, lu kirimin gue bunga?"
"Oh itu." Balas Aldrian sambil tersenyum. "Udah sampe? Bagus nggak?"
Amara mengernyitkan keningnya keheranan. Aldrian sepertinya tidak merasa ada yang salah dengan kiriman bunganya. Apalagi setelah pembahasan panjang lebar tentang secret admirernya beberapa waktu lalu.
"Lu ngirim bunga itu untuk apa?" Tegas Amara.
Aldrian terdiam, bingung harus menjelaskan apa.
"Yaa," pemuda itu menghembuskan nafasnya gugup, "yaa, gue minta maaf."
"Minta maaf buat apa ya, Al?" Kejar Amara dengan degup jantung yang tidak beraturan.
Aldrian berjalan mendekat ke arah Amara, membuat gadis itu mundur satu langkah hingga ia tidak bisa bergerak kemana-mana lagi. Sudah tembok di belakang tubuhnya.
Amara melayangkan pandangannya ke sekeliling sambil berusaha mencari celah untuk kabur, bila ia perlukan.
Melihat Amara yang terlihat gelisah di hadapannya, Aldrian ikut mengernyitkan keningnya. Gadis tegas yang ada di hadapannya ini jarang sekali menunjukkan sikap tidak tenang.
"Mar, lu kenapa? Lu takut sama gue? Gue nggak bakal ngapa-ngapain lu." Tanya Aldrian sambil ikut mundur satu langkah.
Amara menarik nafasnya panjang sambil melipat tangannya, berusaha untuk tetap terlihat tegas.
"Lu jujur sama gue, Al. Lu kenal sama cowok yang suka ngirimin gue buket bunga warna ungu?"
Kali ini kernyitan Aldrian makin dalam.
"Cowok apaan?" Tanyanya sambil berusaha mengingat-ngingat kisah yang diceritakan Amara beberapa waktu lalu.
"Oh cowok itu!" Sahut Aldrian. "Ya, mana gue kenal sih, Mar."
"Itu beneran bukan lu kan?"
Aldrian menggeleng tegas. "Kok lu bisa mikir gitu sih?"
"Bunganya, Al," balas Amara dengan suara bergetar, "itu buket bunga yang sering dikirim ke gue. Bahkan warna dan modelnya selalu mirip kayak gitu."
Aldrian memandang lekat Amara sambil berjalan ke arah gadis itu. Paham kalau gadis di hadapannya ini sebenarnya ketakutan.
"Lu beneran takut ya?" Tanya Aldrian yang ternyata digenapi anggukan oleh Amara.
"Amara, gue beneran nggak tau. Gue dapet toko bunga ini dari sekertaris gue. Gue juga baru pertama kali kesitu." Ucap Aldrian kali ini dengan nada yang lebih lembut.
"Terus kenapa lu kirimin gue bunga? Buat apa?"
Aldrian mengulas senyum di wajahnya sambil memegang pundak kiri Amara.
"Setelah kita dinner di Akira, gue bener-bener paham kalau gue udah nyakitin seorang cewek tanpa gue sadari. Gue ngerasa bersalah banget dan gue nggak tau harus minta maaf dengan cara apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stranger [completed]
FanfictionEnam tahun lalu, there's no 'she fell first but he fell harder'. Mungkin dunia Amara dan Aldrian terlalu berbeda sehingga tidak ada alasan untuk mereka hingga bisa saling jatuh cinta. Aldrian Galendra? Sorry, tapi nama itu sekarang udah ga ada di k...