Hubungan kedua tiba-tiba berada di ambang kehancuran dengan perasaan yang sudah di perbatasan. Terombang-ambing tanpa tahu pasti kemana kaki mereka berdua akan berpijak.
Masih dengan mata yang basah, Amara hanya bisa menatap Aldrian beserta mobilnya yang saat ini sudah berjalan menjauh. Hatinya ikut patah dengan tubuh yang hanya bisa tegak mematung.
Aldrian, pemuda yang ia pikir akan meraih tangannya dan berjuang bersama, ternyata bisa meninggalkannya begitu saja. Gemuruh di dada gadis itu sekarang bertambah kencang. Ia semakin kecewa tidak hanya ada pada Aldrian, tapi juga pada sang ayah.
Amara membalikkan badannya. Dengan cepat ia menyeka sisa air mata di wajahnya dan berjalan ke dalam rumah. Kesabarannya sekarang habis tidak bersisa.
Disanalah ia menemukan Bagus sedang duduk sambil memperhatikan layar ponsel lipatnya dengan seksama. Tidak lama ia membuka lipatannya hingga layar ponsel itu menjadi seukuran buku kecil.
Sama sekali tidak ada sisa rasa bersalah di ulas wajahnya setelah membuat pacar anak bungsunya pulang tanpa pamit. Yang tersisa hanya raut kemenangan yang sesekali ia tampakkan dengan senyum kecil di bibirnya.
Beberapa pegawai rumahnya sedang membersihkan meja makan. Meja makan berisi aneka makanan yang sama sekali belum tersentuh karena acara malam itu gagal total. Hanya bunyi dentingan peralatan makan dan roda troli yang bersautan di ruangan besar itu sebelum hardikan keras dari bibir Amara bergema.
"Pa! Papa ngomong apa sama Aldrian?!"
"Tidak ada ngomong apa-apa." Jawab Bagus singkat.
"Ya, nggak mungkin. Aldrian bukan cowok kayak gitu. Nggak mungkin dia kayak gini kalau nggak sakit hati sama omongan Papa."
Bagus melepaskan kacamatanya sambil meletakkan ponselnya di kursi. Ia lalu melipat tangannya sambil memandang Amara yang sedang berdiri di hadapannya.
"Dia meninggalkan kamu? Barusan? Begitu sajakah? Pantas. Dia memang tidak cocok jadi pasangan kamu."
Tertohok oleh kalimat Bagus, Amara berpikir keras untuk mendapatkan kalimat tandingan lainnya.
"Aldrian nggak akan bersikap begini kalo Papa nggak selalu memandang rendah semua pasangan Amara."
"Mar! Papa dan Mama ingin yang terbaik buat kamu dan Aya. Salah?"
"Salah! Karena Papa memaksakan semua mau Papa."
"Memaksakan bagaimana? Aldrian-Aldrian ini tidak layak buat kamu. Kamu mau berharap apa dari anak broken home seperti itu? Salah kalau Papa memastikan anak-anak Papa mempunyai pasangan yang sesuai syarat Papa?"
"Nggak salah, Pa. Kalau Papa mau denger anak-anak Papa."
"Kalian ini cuma termakan cinta buta saja. Buktinya Papa bisa memilihkan Aya suami yang lebih baik daripada pacarnya waktu itu. Hidup dia sekarang baik-baik saja dan bahagia."
Akhirnya Amara bisa mendapatkan banding telak untuk sang ayah. Sambil tersenyum miring ia membuka kotak pandora yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
"Bahagia? Papa nggak tau, kan, kalau Aya hampir kawin lari waktu itu? Aya juga hampir meninggal karena dia kebanyakan minum obat penenang. Aya dan Danar itu saling cinta, Pa. Mereka saling melengkapi satu sama lain, tapi Papa, dengan segala keegoisan Papa, membuat mereka berdua tidak bisa bareng lagi dan maksa Aya nikah sama Julian. Itu yang Papa katakan berhasil?!"
Bola mata Bagus yang membulat menandakan ia terkejut dengan fakta yang baru saja dibeberkan anak bungsunya. Yang bisa ia lakukan hanya terdiam. Berusaha memproses bukti-bukti baru dalam sidangnya hingga bisa saja terdakwa yang ia bela ternyata benar-benar bersalah. Terdakwanya tentu adalah dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stranger [completed]
FanficEnam tahun lalu, there's no 'she fell first but he fell harder'. Mungkin dunia Amara dan Aldrian terlalu berbeda sehingga tidak ada alasan untuk mereka hingga bisa saling jatuh cinta. Aldrian Galendra? Sorry, tapi nama itu sekarang udah ga ada di k...