Chapter 41. Left Unspoken

99 10 0
                                    

Amara sengaja menghabiskan waktunya dengan Edith. Jujur saja ia lelah menghadapi Aldrian karena baginya lebih baik mereka beradu pendapat sambil bertukar pikiran daripada didiamkan seperti ini.

Terlebih lagi, Amara merasa sangat bersalah pada pemudanya. Rasa kesal dan bersalahnya yang datang silih berganti membuat galaunya mencapai puncak.

"Itu Aldrian belum mutusin lu kali, Mar." Ucap Edith sambil memeluk bantal dan merebahkan badannya menghadap ke arah Amara di kasur.

Amara yang sedang menelungkup sambil memandang layar ponselnya hanya bisa menggerutu sebal.

"Ya, tapi nggak kayak gini dong, Dith. Gue didiemin hampir seminggu. Password apartemen dia udah berubah, dia cuti ngedadak dari kantornya tanpa gue tau. Dia mau menghilang ditelan bumi apa gimana sih?"

"Gue tanya sama lu dulu satu hal, lu masih sayang banget nggak sama dia?"

"Lu masih sempet-sempetnya nanya gue sayang banget apa nggak sama Aldrian? Lu Edith bukan sih?"

Edith tertawa terbahak-bahak. Sahabat Amara itu paham betul bagaimana Amara seringkali meneleponnya dengan antusias untuk menceritakan hari-harinya dengan Aldrian. Hal yang memang tidak terlalu Amara perlihatkan pada kekasihnya sendiri.

Yap, betul sekali. Amara mungkin menyayangi Aldrian lebih dari pemuda itu menyayanginya. Setahun lalu, ketika Aldrian 'bertingkah aneh' pun, dibalik kesal dan marahnya Amara, dibalik ruang yang selalu ia minta pada pemudanya, rasa sayang gadis itu tidak pernah berkurang sedikitpun.

"Terus gue harus gimana dong, Dith?" Rajuk Amara.

"Dia bilang seminggu, kan? Itu seminggunya selesai kapan?"

"Besok."

"Yaudah pas jam dua belas malem lu datengin dia. Lu harus paksa dia cerita."

"Kalau dia masih nggak mau?"

"Gue yang datengin Aldrian terus gue yang maki-maki dia. Lu nggak lupa kan kalo gue bakal jadi orang pertama yang bakal marah sama dia kalo dia nyakitin lu lagi?"

Kali ini Amara ikut terkekeh sambil mendekatkan tubuhnya ke arah Edith.

"Dith, gue ngerasa bersalah banget sama Aldrian sekarang karena gue udah maksa dia buat ketemu sama bokap gue. Menurut lu gimana? Coba lu kasih pandangan lu ke gue."

"Emm.. Nggak enak hati sih pasti, ya, Mar. Apalagi lu nggak tau persis bokap lu ngomong apa ke dia, mana tau emang ini terlalu menyakitkan buat Aldrian sampe dia bener-bener butuh waktu sendiri. Tapi kalau masalah rasa bersalah atau timing, cepat atau lambat lu berdua pasti akan berhadapan juga sama bokap lu. Mau sekarang atau setahun lagi, gue rasa nggak ada perbedaan yang signifikan."

"Jadi gue harus merasa bersalah banget nggak, sama Aldrian?"

Edith menggeleng. "Baik lu ataupun Aldrian nggak berhak merasa bersalah. Kecewa boleh, tapi ini bukan salah kalian berdua. Bokap lu aja yang emang agak laen, ya, Mar."

"Jadi besok gue temuin Aldrian aja nih?"

"Temuin ajalah. Emang kenapa lagi? Takut berantem gede?"

Amara menghela nafas. "Iya, itu yang gue takutin, Dith. Gue sama Aldrian kadang beda cara buat nyelesein masalah. Gue sukanya duduk berdua dan ngobrol tapi Aldrian sekarang lebih suka kayak gini, dia cari solusi menurut dia sendiri."

"Sekarang? Emang dulu nggak gini?"

"Nggak. Dia dulu kayak gue, persis."

"Mar, lu inget nggak sih katanya kalau orang udah bareng lama dan punya hubungan intens, sifat-sifat dan kebiasaan mereka menular satu sama lain. Mungkin ini yang lagi terjadi sama lu berdua. Aldrian cuma menyamakan sama gaya lu aja."

Stranger [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang