Aldrian Galendra, pemuda dengan rasa percaya diri yang seharusnya setinggi langit itu sedang mencengkram kemudinya erat-erat.
Ia seolah tidak menapak di atas tanah semenjak ia menjemput Amara, gadis yang sedang memandangnya penuh rasa sayang.
Kekalutannya semakin nyata ketika Amara mengarahkan mereka berdua menuju rumah mewah di bilangan Pertama Hijau.
Lengkap dengan pagar besi tinggi, penjagaan dua puluh empat jam yang diletakkan di pinggir kanan pintu, CCTV yang terpasang di berbagai sudut, Aldrian semakin tidak yakin kalau amunisinya cukup.
Ketika sampai di depan pintu, Amara membuka kaca mobil BMW X4 Aldrian sambil tersenyum ramah. Satpam yang berjumlah tiga orang itu langsung ikut tersenyum ramah ke arah Amara sambil membuka pintu pagar otomatis.
Ketika pintu terbuka, Aldrian hanya bisa menelan ludahnya berkali-kali. Karena nyatanya, menghembuskan nafas saja tidak cukup.
Aldrian memarkirkan kendaraannya tepat di tempat yang sudah diarahkan oleh salah satu satpam yang sedari tadi berjalan di samping mobil mereka.
Amara yang melihat gelagat aneh Aldrian hanya bisa ikut tersenyum sambil menautkan jemarinya.
"Al, ini baru perkenalan pertama. Kamu nggak pernah janji apa-apa sama aku jadi aku harap kamu jadi diri kamu sendiri aja kayak biasa. Kamu tau kalau papaku memang unik tapi itu nggak ngasih efek apa-apa buat hubungan kita. Aku juga bakal berjuang buat kamu. Aku sayang kamu."
Aku sayang kamu.
Aldrian hanya menatap Amara lekat dan mengacak kepala gadisnya.
Sebelum mereka berdua keluar dari dalam mobil, Aldrian sengaja memandang Amara cukup lama. Menelusuri setiap lekuk wajah gadisnya dengan senyum hangat. Senyum yang menyiratkan jawaban akan kalimat terakhir Amara tadi.
Aku sayang kamu juga, Tik.
Senyum Amara ketika gadis itu perlahan mengusap pelan jemari Aldrian membuat dada pemuda itu nyaris meledak karena rasa takut dan sayangnya yang bercampur jadi satu.
Aldrian mematikan mesin mobil sambil melepas tautan tangan Amara, tanpa tahu apakah tangan itu akan tetap bertaut dengannya esok hari.
Aldrian masuk ke dalam rumah mewah Amara sambil melayangkan pandangannya kesana kemari. Ia semakin sadar bahwa tidak ada barang yang tidak mewah disitu.
Bila ia bisa berdecak kagum ketika melihat rumah Edith waktu itu, kagumnya sekarang menjadi dua kali lipat.
Hawa keluarga old money Amara terasa kental pada setiap sudut ruangan.
Aldrian membetulkan kemeja abu-abu yang sengaja ia masukkan ke celana hitamnya. Luarannya dengan warna senada ia betulkan berkali-kali, gugup.
Ketika ia sampai di ruang tamu, sambutan ayah dan ibu Amara membuat Aldrian mengetatkan tautan jemarinya. Amara pasti sekarang sadar betapa dingin tangan Aldrian kali ini.
Dengan sisa rasa percaya diri yang sudah ia pupuk dari berhari-hari lalu, Aldrian berusaha bersikap seprofesional, mungkin seperti ia biasa menghadapi klien atau calon investor asing yang ia temui.
Gugup, tapi karisma Aldrian memang tidak pernah pudar.
Pemuda itu mengulurkan tangannya ketika Bagus dan Pingkan bangkit dari duduknya.
"Om, Tante, saya Aldrian. Aldrian Galendra." Ucapnya tegas sambil berusaha tersenyum seramah dan sehangat mungkin.
Hal yang sebenarnya sulit ia lakukan saat ini.
Tanpa suara, Bagus meraih telapak tangan Aldrian dan menjabatnya. Pingkan sebaliknya, wanita itu membalas dengan senyum sambil memperkenalkan dirinya.
"Saya Pingkan. Mamanya Amara. Saya panggilnya apa nih? Aldrian saja cukup?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Stranger [completed]
FanfictionEnam tahun lalu, there's no 'she fell first but he fell harder'. Mungkin dunia Amara dan Aldrian terlalu berbeda sehingga tidak ada alasan untuk mereka hingga bisa saling jatuh cinta. Aldrian Galendra? Sorry, tapi nama itu sekarang udah ga ada di k...