Aldrian yang dikenal Amara adalah pemuda yang sangat persuasif, pandai menempatkan diri, mudah bergaul dan lihai bersilat lidah. Tapi Aldrian yang sekarang sedang mengemudikan mobil di sebelahnya bukan seperti Aldrian yang gadis itu kenal.
Pemuda itu mengatupkan bibirnya erat-erat tanpa ada satupun kalimat yang keluar sedari tadi. Rautnya mengencang tanda bahwa ia sedang benar-benar kesal.
Amara tahu, bila ini diibaratkan perang, sudah pasti ia kurang amunisi.
Sebelum Aldrian membuka mulutnya, Amara lebih dulu mengeluarkan unek-unek yang sudah ia simpan berhari-hari. Curahan hati dan omelan yang belum tersampaikan dan sudah terlanjur pudar karena pelukan Aldrian tadi sore.
"Al, bisa berhenti sebentar?"
Aldrian menghembuskan nafasnya panjang dan segera mencari tempat yang cukup nyaman untuk memarkirkan kendaraannya.
Pemuda itu menemukan area kosong di ujung tebing area perumahan umum sebelum mereka turun dari daerah Dago Atas.
Setelah mobilnya terparkir sempurna, pemuda itu menolehkan kepalanya dan menatap Amara.
Melihat Amara dengan rambut panjang tergerai, anting panjang, bahunya yang sebelah terbuka dan make up yang terlihat lebih bold, kalimat yang akan Aldrian keluarkan tiba-tiba lenyap. Ia telan bersama dengan rasa rindu yang masih membumbung tinggi di dadanya.
"Al, kamu kenapa sih?" Ucap Amara sambil membuka pembicaraan serius dengan Aldrian.
"Aku kangen."
"Nggak, kamu aneh. Kamu demanding banget dan aku nggak suka."
Aldrian menghembuskan nafas untuk kedua kalinya. Baru kali ini ia tidak bisa berargumentasi apa-apa ketika dihadapkan dengan gadis bernama Amara.
"Coba jelasin, Mar."
"Aku kan ke Bandung tuh kerja bukan cuma main-main. Kamu tiap hari nggak ada berhentinya minta perhatian. Aku capek, Al. Aku nggak suka cara pacaran yang kayak gini."
"Terus tadi kamu sama Leo kenapa kayak gitu? Itu nggak sopan. Leo cuma rekan kerja aku. Dia juga panitia inti dan ini bagian dari salah satu KPI* dia. *Key Performance Indicator
"Aku tuh dari dulu nggak suka sama acara party kayak gini. Leo ngajak aku keluar karena dia tau aku nggak nyaman."
Amara masih belum berhenti membombardir Aldrian dengan kalimat dari bibirnya.
"Terus kamu tadi tiba-tiba nyamperin aku di kamar hotel. Bukannya aku nggak seneng tapi gimana kalau temen kantor aku liat dan jadi bikin gosip aneh-aneh. Cukup masa kuliah aku yang jadi berat gara-gara kamu. Aku nggak mau ini juga berpengaruh ke kerjaan aku."
Amara lalu melipat tangannya dan menyandarkan tubuhnya dengan kesal yang masih memenuhi dadanya.
Baru saja Aldrian akan meraih tangan Amara, gadis itu tiba-tiba bersin.
Aldrian lalu melepas jaket denim yang ia gunakan dan menyerahkan pada Amara.
Dengan nada selembut mungkin, pemuda itu bersuara.
"Pertama, pake dulu jaketnya. Dago Atas lagi dingin."
"Kedua," Aldrian meraih tangan Amara yang masih terlipat dan menggenggamnya erat, "iya aku rese. Maaf."
"Yang terakhir," kali ini Aldrian menekankan kalimatnya sambil menyeringai, "makanya lain kali udah bener kalo aku ngenalin diri sebagai pacar kamu biar kamu nggak dipepet Leo-Leo itu."
"Apaan sih?" Balas Amara masih sambil menggerutu.
"Aku tuh kangen banget. Bilang makasih dulu kek. Dari tadi aku cuma dijudesin sama di pelototin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stranger [completed]
FanfictionEnam tahun lalu, there's no 'she fell first but he fell harder'. Mungkin dunia Amara dan Aldrian terlalu berbeda sehingga tidak ada alasan untuk mereka hingga bisa saling jatuh cinta. Aldrian Galendra? Sorry, tapi nama itu sekarang udah ga ada di k...