Atas nama profesionalitas, dua manusia yang saling memalingkan wajahnya itu sudah duduk berhadapan di meja siaran. Keduanya hanya membolak-balikkan kertas yang ada di tangan masing-masing sambil menahan gusar di dada.
Atas nama profesionalitas juga, pemuda bernama Aldrian itu kembali berinisiatif untuk membuka perbicangan. Kalau tidak, bisa jadi mereka hanya saling mendiamkan untuk beberapa jam ke depan.
"Amara..." Panggil Aldrian sedatar mungkin.
Gadis itu hanya mendongak sebentar dan kembali mengecek kertas di tangannya. Seolah-olah kertas itu adalah hidupnya.
"Kita mau kayak gini sampai kapan?" Tanya Aldrian yang mulai kesal.
"Hmm..." Hanya itu suara yang muncul dari bibir Amara, sambil gadis itu mulai mengatur letak microphone dan keyboard di ruang rekaman yang ia pinjam dari salah satu kenalannya.
Suasana ruangan kedap suara dengan bangku kayu dan dinding abu-abu itu hening dan kaku.
"Amara, are you serious for being like this?" Akhirnya Aldrian mengutarakan kekesalannya dengan lugas.
"Al, gue nggak ada tenaga buat berantem mulut sama lu. Kita mulai rekaman aja."
Aldrian hanya bisa pasrah dan mengikuti alur permainan Amara. Betul saja, rekaman podcast perdana mereka tidak berjalan dengan baik.
Mulai dari Aldrian yang tidak paham konteks script, Amara yang sudah kadung kesal dengan sikap Aldrian hingga ia tidak konsentrasi hingga Aldrian yang kerap kali memotong pembicaraan mereka.
"Jadi mau lu gini, Mar?!"
"Duh, Al. Harus mulai lagi nih?!"
"Ya abis gimana. Mau rekaman bener aja nggak bisa-bisa."
"Lu nggak bisa profesional, Al."
"Ngaca, Mar."
"Duh!"
Kallimat Aldrian betul-betul membuat Amara kehilangan moodnya kali ini.
"Al, lu tuh kenapa sih hobi banget ngerusak suasana hati orang?"
"Lu nggak sadar sikap lu dari kemarin bikin orang kesel?" Ucap Aldrian sambil memainkan pulpen di jemarinya.
"Lu aja enam taun nggak sadar-sadar, Al."
"Ck."
"Kenapa sih Al? Nggak semua orang harus suka sama lu."
Aldrian bangkit dari duduknya. Ia lantas menarik kursi terdekat dan duduk di sebelah Amara. Gadis itu sontak hanya mengangkat kepalanya dan memperhatikan tingkah laku Aldrian dengan bola mata membulat.
Hanya berjarak tidak sampai satu jengkal, Aldrian duduk di samping Amara sambil meremas kertas di tangannya. Kesalnya mulai berubah menjadi murka.
"Lu pengennya gue ngapain sih?! Gue berlutut di hadapan lu? Mohon-mohon sampe dimaafin? Mau lu apa? Omongin sekarang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Stranger [completed]
FanficEnam tahun lalu, there's no 'she fell first but he fell harder'. Mungkin dunia Amara dan Aldrian terlalu berbeda sehingga tidak ada alasan untuk mereka hingga bisa saling jatuh cinta. Aldrian Galendra? Sorry, tapi nama itu sekarang udah ga ada di k...