Chapter 38. Uncertainty

96 10 0
                                    

Kanya kehilangan jejak Aldrian yang katanya hanya hendak ijin sebentar keluar kantor. Paniknya menjadi karena pemuda berambut tebal itu harusnya sudah berada di ruangan rapat kantornya sore ini.

Panji, sesama co-founder Run Tech pun sama bingungnya. Panggilan telepon dari ponselnya sama sekali tidak terjawab.

Tepat lima menit sebelum rapat daring antar negara itu dimulai, Aldrian muncul dengan tampilan kusut. Panji dan Kanya hanya bisa saling berpandangan sambil mengernyitkan kening mereka masing-masing.

Selama hampir empat tahun bekerja sama, untuk pertama kalinya Aldrian terlihat kurang profesional. Pemuda itu tidak fokus sama sekali sehingga Panji akhirnya mengambil alih rapat.

Panji menyenggol lengan Kanya sambil meminta gadis itu mengecek ponselnya.

Dengan bisikan pelan Kanya menjawab.

"Kenapa, Mas?"

"Buka hpnya. Tolong bilangin ini sama Aldrian."

Kanya dengan sigap membuka ponselnya dan mengirimkan pesan yang sama pada Aldrian.

"Udah aku kirim ke Mas Aldrian."

Keduanya lalu serentak mengangkat kepalanya dan mengarahkan pandangannya pada pemuda yang sedang menyisir rambut dengan jemarinya.

Sadar kalau dua rekan kerjanya mengamatinya dari jauh, Aldrian memberikan kode berupa anggukan.

Ketika ada jeda istirahat selama sepuluh menit, Kanya dengan cepat bergerak ke arah Aldrian yang duduk di sebrang mejanya.

Bisikan dan senggolan pelan Kanya membuat Aldrian dengan pandangan kosong itu segera mengangkat kepalanya.

"Kenapa Mbak Kanya?" Jawab Aldrian pelan.

"Kata Mas Panji, dia aja yang lead meeting. Mas Aldrian istirahat dulu aja."

Aldrian mengarahkan pandangannya ke arah Panji yang sedang menatapnya lekat dari sebrang meja ruang rapat. Anggukan Panji membuat Aldrian beranjak dari duduknya dan meninggalkan ruangan.

Ia berjalan pelan menuju ke ujung lantai kantor sambil mengeluarkan kotak putih dari sakunya. Matanya bergerak menuju ke tangga darurat. Mencari celah agar ia bisa menyelinap ke tempat itu sambil mengepit rokok dengan bibirnya.

Hanya penat yang bisa pemuda itu rasakan ketika kilatan ingatan tadi siang memenuhi kepalanya. Penat yang dipenuhi rasa bersalah.

Pada ibunya dan rekan kerjanya hari ini.

***

"Kamu dimana sih, yang?" Tanya Amara yang kesulitan menghubungi Aldrian selama dua hari ini.

"Di kantor, Tik. Banyak kerjaan. Kan aku udah bilang aku lagi sibuk banget."

"Nggak biasanya loh, Al. Kamu kenapa? Cerita sama aku."

Aldrian hanya terdiam sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kantor. Ia menatap langit-langit ruangannya yang sengaja ia biarkan temaram.

Matanya teralih oleh cahaya matahari yang sekarang sudah berubah menjadi gelap. Ia tidak sadar waktu berlalu begitu cepatnya.

Diamnya Aldrian yang tidak biasa membuat Amara tiba-tiba khawatir.

"Sayang, something happen?"

Pertanyaan Amara membuat Aldrian memaksakan senyum di wajahnya. Senyum yang sebenarnya tidak mungkin bisa terlihat oleh Amara melalui panggilan telepon.

"Aku lagi senyum kok. I'm okay." Kebohongan dari Aldrian, yang pertama untuk hari ini. "Kamu lagi apa, Tik? CCTV di apartemen kamu udah bener semua, kan? Maaf, ya, aku nggak sempet cek, aku aja belum pulang ke rumah dua hari ini."

Stranger [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang