Chapter 42. Die For You

106 14 0
                                    

Aldrian merebahkan tubuhnya di sofa dengan batin berkecamuk. Kalimat Mahatma tempo hari dan kata-kata dari Amara barusan silih berganti berputar di kepalanya.

Berarti ini lampu hijau buat gue, Dri?

Al, kalau kamu ngerasa butuh waktu. Aku juga.

Dada Aldrian yang kian sesak membuatnya terbatuk lebih dari semenit. Pandangannya mulai gelap. Seharusnya ia tadi memeluk Amara erat dan mengucapkan kata rindu dan sayang yang sudah menumpuk seminggu ini, yang tidak tersampaikan pada pemiliknya.

Ini kalo gue mati gimana, ya? Minta maaf sama Amara dan Mama juga belum, batin Aldrian sambil memegangi dadanya.

Penyesalannya kian terasa. Semua kalimat dan ketus yang tunjukkan pada Amara tadi seolah berputar di kepalanya seperti film pendek. Semua kata-kata menyakitkan, kalimat permohonan Amara dan tangis gadis itu tergambar jelas di benaknya.

Baru saja Aldrian ingin larut dalam perasaannya, tubuhnya mengambil alih. Batuknya semakin kencang hingga ia tidak kuasa bergerak. Otaknya sekarang berputar cepat. Ia yakin tidak lebih dari setengah jam ia pasti sudah tergeletak tidak berdaya.

Pemuda itu mengambil ponselnya dan menghubungi satpam gedung, meminta tolong agar bisa dicarikan taksi dengan nafas tersengal.

"Pak Ipul, boleh minta tolong carikan taksi?" Tanya Aldrian tanpa basa-basi ketika penelepon di ujung sana menjawab panggilannya.

"Kenapa, Den? Kok suaranya gitu?"

"Nggak enak badan." Suara Aldrian semakin lirih.

"Yaudah, nanti saya carikan. Mau saya jemput ke atas? Nanti buka saja pintunya, ya, Den."

"Iya, makasih."

Aldrian mematikan panggilan teleponnya sambil merebahkan dirinya di sofa. Kepalanya berputar hebat hingga pandangannya mulai kabur sejalan dengan batuknya yang tidak berhenti.

Ia mengangkat lagi ponselnya, dengan sisa-sisa tenaga yang ada di dirinya. Sepersekian detik jemari Aldrian berhenti bergerak. Ia ragu harus menghubungi siapa lagi.

Amara? Sudah pasti tidak mungkin. Ganta dan Maha? Dua sahabatnya itu sudah pasti akan lebih panik. Bila Ganta dan Maha tahu, sudah pasti Amara tahu.

Batuknya yang kian kencang disertai dengan kenaikan suhu tubuhnya membuat Aldrian mau tidak mau harus memutuskan sesuatu. Aldrian menekan sesuatu di layar ponselnya. Ketika suara diujung sana menjawab dengan suara khas bangun tidur, Aldrian berbisik perlahan.

"Ma, boleh tungguin Aldrian di RSPI, nggak? Aldrian mau ke sana. Sekarang lagi nyari taksi."

Sarah dengan cepat mengiyakan dengan nada yang tidak kalah panik.

***

Aldrian membuka matanya dan yang ia lihat hanya langit-langit berwarna putih, dikelilingi korden hijau.

Ketika ia hendak menarik nafas panjang, hanya batuk pula yang ia dapatkan.

Gue masih bisa nafas berarti belum mati, batinnya.

Suara halus Sarah di sebelahnya membuat Aldrian membuka matanya lebih lebar.

"Ma, sama siapa?" Tanyanya pelan sambil berusaha menahan batuk yang tidak bisa ia cegah.

"Al, kamu ngerokok lagi? Kamu lagi kenapa sih sampai begini? Amara mana? Mau Mama telfon sekarang atau besok aja?"

Semakin panjang kalimat yang keluar dari bibir Sarah, semakin Aldrian yakin sang ibu panik luar biasa. Wanita paruh baya yang selalu tenang itu tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya saat ini.

Stranger [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang