Alicia menahan tawanya. "Mas, mas. Yang benar aja, mana cukup untuk aku pakai? Ini kan seukuran anak SD."
"Oh gitu ya. Kamu dulu kecil ya gini ini?" Devan mengembalikan pakaian itu.
"Nggak, aku dulu kecil pakai daster sih."
"Dih, ndagel."
"Serius. Mas pengen beli ya? Mending disimpan, barangkali buat ponakan atau bahkan anaknya besok-besok."
"Jauh banget. Oh ya, kamu mau milih apa?"
Alicia mengernyitkan dahi. "Loh, bukannya yang lagi butuh baju baru itu mas? Kok malah nanyain aku."
"Iya, ke tengah sini kan daerah baju cewek. Maksud aku sekalian gitu."
"Fokus cari untuk kebutuhan mas aja. Kita ke lantai dua. Mau cari yang warna apa mas?" tanya Alicia saat beralih ke eskalator.
"Gelap aja deh. Hitam, abu-abu, atau coklat. Lama banget nggak beli, dari awal kerja."
"Loh, lima tahun ada dong. Awet ya, kalah di warna doang gitu?"
Devan mengangguk. Kemudian mengarahkan pandangan ke arah berlawanan. Tepatnya pada sebuah kios brand legendaris pakaian laki-laki. "Tuh."
"Mas, mau yang XXL ini? Pasti butuh yang kantongnya sebesar ini." Alicia mengambilkan salah satu kemeja formal berwarna abu-abu itu. Terlihat elegan. Dia jadi membayangkan bagaimana jika digunakan oleh Devan, apalagi biasanya laki-laki itu menggunakan dasi saat bekerja. Duh, terlihat cocok dan berwibawa, meskipun wajahnya cukup babyface.
"Bagus. Mirip punyaku dulu. Tapi, tambah satu ukuran deh." Devan mengamati sekilas sambil mengira-ngira apakah pas dengan tubuhnya yang tiba-tiba mulai mengembang sejak tiga tahun lalu ini.
Alicia mengurutkan satu persatu, mengamati sampai ke bagian belakang hook untuk mencari ukuran yang dimaksud Devan. Ternyata tinggal dua pasang saja.
"Ketemu. Jadi ini?"
Devan memasukkan ke dalam tas belanja. "Satu lagi aja, warna coklat itu."
"Bagus kanan apa kiri?" Devan membawa dua potong kemeja dengan model sama namun berbeda warna.
"Kanan deh mas. Yang kiri warna coklatnya ketuaan. Agak susah memadukan sama bawahannya." Alicia meraih kemeja berwarna coklat muda itu.
Sementara Devan langsung mengembalikan kemeja coklat tua ke tempat semula. "Bener tuh, ketuaan kayak aku."
"Apaan sih mas. Sok tua deh, toh masih muda gitu."
"Maksudnya ketuaan untuk menjadi siswa SMA." Devan lalu menuju fitting room untuk mencoba dua pakaian yang dipilih.
Sementara Alicia berdiri di tepi manequeen sambil mengamati para pelanggan yang sedang transaksi dengan mbak-mbak kasir. Sesekali Ia mendongak ke atas untuk memastikan manequeen ini tidak bergerak sama sekali. Tidak. Tidak mungkin.
Ada sepuluh menit Alicia menunggu, tak kunjung ada tanda-tanda Devan kembali menghampirinya. Alicia memutuskan untuk mengecek keberadaan Devan yang tadinya masuk ke fitting room bilik paling ujung. Saat Alicia melihat ke bawah, pintu bilik ini memiliki sela sekitar 15 cm. Sehingga Alicia dapat memastikan Devan masih disitu. Karena dia hafal betul sepatu yang digunakan tadi.
Sebab tak terdengar suara sama sekali, Alicia lantas menendang pelan kaki belakang Devan dengan ujung flatshoesnya sebanyak dua kali. Lagian, Alicia heran kenapa kaki Devan terlihat sangat tegak dan tidak bergerak sama sekali. Alicia jadi curiga jika Devan sedang selfie di depan cermin.
Karena tidak merespon sama sekali, akhirnya Alicia berbalik badan untuk menunggu lagi. Namun, belum satu menit, pandangannya tiba-tiba gelap.
"Tolong!" pekik Alicia kaget. Tetapi, setelah disadari. Ternyata tangan besar yang menutupi matanya ini pasti tangan Devan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelas Sore ✓
Художественная прозаAlicia Evalina, seorang karyawan sekaligus mahasiswi kelas sore UNP. Dia merasa menemukan teman seperjuangan di kampusnya. Devan Evander, laki-laki yang dikira merupakan adik kelasnya itu. Dua insan ini memiliki kehidupan berbeda. Hidup Devan yang m...