30 | Sebuah Kejelasan

30 0 0
                                    

Ponsel Alicia yang bergetar beberapa kali itu membuat pemiliknya tersenyum. Malam ini, grup chat resmi kantornya tengah ramai perbincangan. Bukan tentang tuntutan terhadap karyawan, tetapi malah ada kabar baik.

Seorang manajer pemasaran memberikan break down penjualan sebulan ini. Naik dan di atas target, setelah ada huru-hara penurunan penjualan yang diakibatkan oleh adanya brand dari kompetitor. Untungnya, tim marketing berhasil menjaga loyalitas pelanggan. Sehingga penjulan setiap bulan berangsur-angsur baik setelah sempat anjlok.

"Apaan tuh senyum-senyum?" celetuk Yoga yang melihat temannya asyik sendiri dengan benda persegi panjang di tangannya.

"Emh ini, orang-orang kantor."

Yoga menaikkan sebelah alisnya. "Kayaknya mau ada gaji ke tiga belas tuh?"

"Aneh kamu Yog. Tunjangan gaji ketiga belas ya sama dengan tunjangan hari raya itu." Alicia tertawa kecil.

Yoga ikut terkekeh mendengarnya. "Oh iya, anda dicariin kakak saya loh."

Ah, Yoga ini membuat senyum di wajahnya itu mendadak hilang.

Semenjak pulang KKN, Alicia tidak pernah bertemu dengan Devan. Terhitung dua minggu ini, Alicia pun tak pernah berkabar dengan laki-laki teknik itu. Alicia kala itu memberikan alasan agar Devan tak perlu mengantarnya pulang lagi. Perempuan itu juga malas ke kantin karena ujung-ujungnya biasa bertemu Devan yang kerap nugas di sana.

"Dia makin uring-uringan loh, kamu sih cuek terus. Dasar cewek."

Alicia berdecak. Kenapa Yoga malah menyalahkan dirinya?

***

Al, ternyata kamu salah paham. Aku ke kelas.

Alicia menutup ponselnya, setelah mendapatkan pesan pertama setelah dua minggu tak ada chat. Ternyata, Alicia perlu menemui laki-laki itu. Alicia menyadari ada perasaan yang aneh jika Devan tak ada di hari-harinya. Apalagi hal itu terjadi karena adanya perang dingin antara mereka.

Dia segera keluar kelas setelah berpikir singkat. Lalu Ia mendapati Devan yang sedang berdiri sambil bersandar di tembok kelas sebelah. Tangan laki-laki itu dilipat ke depan dada. Tatapan tajam dan tak ada senyum sedikitpun yang terbit dari bibirnya. Ah, wajah ketusnya ini sudah terlihat mewakili isi hatinya.

Alicia berusaha tersenyum untuk mencairkan suasana tricky ini. "Ada apa mas?"

"Ikut aku." Devan berjalan mendahului Alicia. Membuat perempuan itu memilih ikut saja, tanpa menanyakan tujuannya kemana.

Sampai Devan duduk di sebuah gazebo yang cukup jauh dari tempatnya berdiri tadi. Alicia ikut duduk di sampingnya.

"Oh, haruskah kita ngobrol di tempat yang jauh begini?" tanya Alicia.

"Daerah kelasmu ramai, berisik." Devan berdecih lirih. "Coba ngomong, kenapa?"

Alicia mengerutkan dahi. Devan ini aneh. Dirinya yang mengajak kemari, malah Alicia yang seolah ada keperluan.

"Marah?" Hanya satu kata itu yang meluncur dari mulut Devan, setelah Alicia tak menjawab pertanyaannya.

"Marah kenapa? Aku rasa sejauh ini aku nggak marah, apalagi ke mas."

"Masih marah gara-gara obrolan dua minggu lalu?"

"Aku nggak marah mas. Tapi, aku merasa kurang nyaman akan hal itu. Untuk apa semua ini terjadi karena mas yang kasihan?" Alicia menghela nafasnya gusar. "Dan untuk apa pula mas harus membatasi pergerakanku? Bukannya seharusnya mas tidak perlu mengekang?"

Kelas Sore ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang