Hari yang cukup menegangkan akhirnya datang juga. Sudah waktunya Devan menjalani preview. Walau deg-deg'an, tetapi laki-laki itu senang karena harapannya tinggal satu langkah lagi untuk menuntaskan kuliahnya. Gelar magister akan segera disematkan di belakang namanya.
"Mas, beneran nggak mau makan dulu?" tanya Alicia yang beberapa menit yang lalu mengamati Devan sibuk dengan beberapa lembar kertas di tangannya. Laki-laki itu terlihat lemas. Keringatnya mulai bercucuran.
"Duh, aku tremor. Tapi, lapar." Devan mengeluh. Tak lama, menyahut kotak bekal yang sedang Alicia genggam. Dia bisa memperkirakan jadwalnya untuk maju masih berselang beberapa waktu lagi.
"Butuh tenaga, sebelum kena roasting." Devan melanjutkan aktivitas makannya yang lahap itu. Seperti biasanya, laki-laki ini kalau sudah melihat makanan, pasti excited. "Enak loh."
Devan menatap nanar Alicia. Bahkan sampai hari ini, perempuan 20 tahun itu masih setia menemaninya. Meskipun, Alicia tidak bisa membantunya untuk membuat tesis, tapi Alicia punya cara sendiri untuk membantu Devan dengan caranya sendiri. Menemani harinya, membawakan bekal, berbagi cerita, dan hal-hal sederhana lainnya namun tetap bermakna.
"Iya, dihabisin biar semakin semangat dan bertenaga." Alicia jelas tak bisa memberi support secara akademis, hanya support kecil seperti ini yang dia lakukan.
"Makasih, gak ada alasan untuk nolak pemberian kamu ini." Devan mengembalikan kotak makan yang isinya tak bersisa sedikitpun. Laki-laki itu tersenyum sempurna. Raut bahagia yang mendadak tergantikan dari muramnya ketika mengamati lembaran-lembaran tadi.
"Eh eh, sejak kapan Devan punya adik cewek?" celetuk salah satu perempuan berkemeja putih yang menghampiri mereka.
"Ah, sampean kayak nggak tahu aja. Adik baru." Devan terkekeh. "Ini namanya Mbak Sonia. Salah satu dari tujuh orang warga TI."
Alicia menyalami perempuan yang usianya terlihat sudah memasuki kepala tiga itu. Ternyata Devan tidak bercanda waktu itu, jika teman sekelasnya hanya enam orang. Banyak kelas jenjang magister di sini yang isinya tidak sampai sepuluh. Jauh berbeda dengan jumlah mahasiswa sarjana yang bisa tiga kali lipat dari jumlah itu.
"Oh, ini Alicia adik-adik'an punya Devan. Aku Sonia, panggil Mbak aja meski sudah punya buntut satu." Sonia menyalami Alicia dengan ekspresi yang ramah juga.
Alicia menjadi heran kenapa temannya Devan ini bisa mengenali namanya. Mungkin, Devan pernah menceritakan sedikit, sebab ketika Alicia menghampiri Devan ke kelas pernah bertemu dua teman perempuan Devan. Salah satunya ya Sonia ini.
"Kamu juga anak kampus ini kan? Kok aku nggak asing ya sama kamu?" tanya Sonia yang ikutan duduk di sebelah kanan Alicia.
"Betul mbak. Saya anak kelas sore, akuntansi."
Sonia terkekeh sambil menggelengkan kepala. "Sudah aku tebak. Pantas saja, raut wajah bahagiamu sekarang masih memancarkan bayangan angka-angka."
Alicia ikut terkekeh dengan jokes ibu-ibu yang di luar dugaan ini. Lalu Alicia mengamati Sonia yang membolak-balik kertas dengan cepat.
"Sudah deh, nggak baik kelamaan baca ini. Makin pusing. Lihatlah kakakmu itu, tampak serius nan metenteng, menyimak bahan yang dibuat." Sonia melirik Devan yang kembali fokus dengan kertasnya, setelah menyelesaikan sesi makan sorenya tadi.
"Oh jadi kita kalau mau sidang skripsi atau tesis, harus dengan pembawaan santai ya biar nggak makin grogi?" tanya Alicia penasaran. Sonia ini terlihat senang diajak berbicara meskipun baru saja kenal, tipikal extrovert seperti dirinya.
"Kalau aku sih iya, santai tapi serius. Dari awal pas maba kena berbagai serangan presentasi, sampai sekarang harus berhadapan dengan hal ini selalu nggak aku bikin beban. Alhamdulillah, semua dipermudah dan dikasih cepat. Mungkin, Allah tahu aku harus cepat-cepat selesai biar kembali punya waktu lebih banyak sama keluarga."
"Syukurlah mbak, itu juga bentuk rezeki yang dikasih Allah dengan mempermudah segara urusan perkuliahan mbak."
Sonia mengangguk sembari tersenyum.
"Ngomong-ngomong, putranya mbak usia berapa sekarang?"
"Oh, baru tiga tahun. Masih lucu-lucunya, harus aku tinggal di daycare. Ya, semoga dia agak besaran dikit bisa lihat ibunya jadi dosen."
"Aamiin, semoga dilancarkan semuanya hajatnya ya mbak."
Alicia tersenyum. Ternyata teman-teman Devan ini rata-rata usianya di atas Devan. Pantas saja, Devan biasanya merasa kesepian karena mereka pada punya kesibukan masing-masing. Dan, sampai-sampai nih ya, Devan malah memilih ditemani oleh teman dari adiknya sendiri.
"Doa yang sama untuk kamu." Sonia menepuk bahu Alicia.
"Ya sudah mbak, aku mau kembali karena sebentar lagi UAS mau mulai. Mas, aku ke kelas ya? Semoga semua dikasih hasil terbaik," pamit Alicia.
"Yang serius kerjain biar besok cumlaude!" ujar Devan saat Alicia mulai melenggang.
Sebenarnya, kalau sedang tidak ada kepentingan UAS, Alicia berniat menemani Devan di sana. Mungkin, dirinya akan mengobrol banyak dengan Sonia, karena jadwal perempuan itu terbilang masih beberapa jam lagi.
Alicia memasuki kelasnya yang hening itu. Warga kelas Akuntansi B sedang serius-seriusnya belajar. Ada yang sedang menulis dengan cepat, ada yang membaca dengan posisi buku terbalik saking tremornya.
"Ah, kalian sok asik sendiri!" cibir Amira yang menyadari Alicia dan Afif bukan malah mengurusi bukunya, tapi dengan santainya mengamati kondisi kesana-kemari.
Padahal, Alicia tadi semalaman sudah melakukan review soal. Karena sesi belajarnya sudah dia cicil jauh-jauh hari meskipun tidak sedang menjelang ujian. Dia lebih suka menyicil daripada harus memaksakan dalam satu waktu. Teman-temannya saja yang sering tak pernah percaya, mengatakan jika Alicia ini anak ajaib. Dikira nggak pernah belajar, tapi tiba-tiba dapat nilai yang memuaskan.
"Apa sih Amira? Apa yang harus aku pelajari kalau buku akuntasiku sudah hancur terkena blender? Lalu aku minum juice paper itu," jawab Afif dengan nada tak serius. Dirinya tak suka belajar metode kebut-kebutan seperti yang dilakukan teman-teman kelasnya. Lebih baik begadang dari jauh-jauh hari.
"Sesat. Aku dulu SD nyoba gitu, malah keracunan!" celetuk Yoga. Lalu mengetuk kepala Afif dengan bolpoin.
"Berisik berisik, nggak penting tahu." Ersya kesal ketenangannya diganggu oleh tiga temannya yang ricuh ini.
Beberapa menit kemudian, seorang dosen yang mengawasi ujian datang memasuk ruangan. Mulai memberikan instruksi berupa penjelasan tata tertib ujian yang akan berlaku selama UAS berlangsung. Kemudian mempersilahkan para mahasiswa untuk segera mengakses soal-soal khusus ujian dari e-learning.
"Al, tolong." Amira berbisik sembari mencubit pinggang Alicia dari bawah meja.
"Hei mbak! Fokus dengan pekerjaanmu sendiri!" ujar beliau laki-laki paruh baya yang terkenal killer itu. Membuat Amira pura-pura fokus. Huh. Untung saja, Alicia belum sempat menoleh.
***
Keesokkan harinya, chat dari Devan membuat Alicia senyum-senyum sekaligus terharu di pagi hari.
Mas Devan
Ternyata aku nggak perlu nambah semester, aku nggak perlu mengulang. Hal itu cuma menjadi bayang-bayang buruk yang belum tentu terjadi. Aku sudah dinyatakan lulus.
Semua syarat kelulusan sudah aku bereskan. Jadi, urusan aku di kampus hanya untuk daftar wisuda.
Tampaknya aku jadi punya waktu luang lebih banyak, otomatis aku juga bakal punya waktu yang lebih banyak sama kamu kan?
Alicia, makasih ya.
Ketakutan itu nggak akan terjadi kan? Soalnya dosen-dosen mas tahu, mas kuliahnya niat dan giat. Selamat ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelas Sore ✓
General FictionAlicia Evalina, seorang karyawan sekaligus mahasiswi kelas sore UNP. Dia merasa menemukan teman seperjuangan di kampusnya. Devan Evander, laki-laki yang dikira merupakan adik kelasnya itu. Dua insan ini memiliki kehidupan berbeda. Hidup Devan yang m...