41 | Hari Tanpanya

10 1 0
                                    

Alicia mengabaikan buku yang berada di depannya. Pikirannya barusan, membuyarkan fokusnya terhadap benda tebal itu.

Perempuan itu merenung. Berada di kantin, membuat ingatannya tentang Devan kembali berputar. Bukan berarti berniat melupakan laki-laki itu, namun Alicia berusaha tidak membuat pikirannya kembali mengulas tentang kejadian-kejadian yang pernah mereka alami.

Meskipun sedang berada di kantin kampus, tempat yang membuat Alicia sering berjumpa dengan Devan. Tetapi, bagaimana pun keadaannya, seharusnya Alicia fokus pada kehidupan semester akhirnya dan tetap komitmen melaksanakan tugas-tugasnya di kantor.

"Duar!" Lamunan Alicia buyar ketika ada sepasang tangan yang menepuk baru Alicia dari belakang.

"Kalian tumben di sini?" Alicia memandangi satu-persatu wajah Ersya dan Amira. Jarang mereka mau ke kantin kampus. Katanya sih, selain sudah kenyang atau pun keburu pulang, mereka kebanyakan mager untuk melangkah ke sana.

"Ini kan kantin untuk semua mahasiswa, wajarlah kita pengen kemari juga. Harusnya, kita yang tanya. Tumben kamu sendirian, biasanya sama siapa itu Sya?" Amira menyikut pinggang Ersya.

"Oh itu, tumben nggak sama Mas Devan?" sahut Ersya.

"Mas Devan kan sudah lulus, sudah ikut wisuda lalu." Alicia tersenyum.

"Oh, pantes. Pantes nih anak kelihatan kayak orang kesepian!" Amira lantas mengikuti Ersya untuk duduk di sebelah Alicia.

"Pintar ya Mas Devan. Anak magister, tapi bisa ikut wisuda gelombang satu. Semoga kita ketularan untuk dapat wisuda awal ya?" ujar Ersya penuh harap.

Alicia dan Amira mengangguk.

"Tapi kamu nggak usah sedih, walau Mas Devan sudah nggak di sini, kamu masih punya kita berempat kok." Ersya menepuk-nepuk bahu Alicia.

"Ih siapa yang sedih sih?" Alicia berusaha mengelak. Mungkin, wajahnya yang bisa ceria, tampak lebih muram malam ini.

"Halah, siapa sih yang nggak sedih ditinggal teman spesial?" cibir Amira.

"Sudah ya, aku mau tes dulu biar nggak telat." Alicia mengemasi barangnya ke dalam tas.

"Ah kamu, kalau waktunya gini gak ajak-ajak." Amira mendengus sebal, melipat tangannya di dada.

Ersya sontak menjewer telinga Amira. "Dengar ya, dari ngajak tes, ngajak daftar, ngajak daftar sudah Alicia bilang di grup. Kamu sih, baca grup bagian jokesnya doang. Giliran ngobrol serius diabaikan."

"Ah iya-iya lupa, maaf. Lepasin tangamu cepat." Amira semakin kesal. Telinganya terasa panas sekarang.

"Yaudah, semoga lancar dan dapat nilai sesuai targetmu. Minggu depan aku nyusul." Ersya mengacungkan jempolnya.

Alicia segera melenggang pergi. Menuju gedung pusat bahasa yang terlihat lumayan ramai malam ini. Karena mulai minggu ini, tes TOEFL diadakan seminggu sekali. Tentunya, banyak mahasiswa yang sudah buru-buru melaksanakan karena skornya akan dipergunakan sebagai salah satu syarat kelulusan.

Setelah Alicia mengamati daftar nama, Ia segera masuk ke ruangan nomer satu itu. Ujian akan segera dimulai, maka dari itu pengawas tengah membacakan tata tertibnya.

***

Dua jam telah berlalu, tes tersebut telah selesai. Alicia cepat-cepat menuju ruang staff adminstrasi untuk menanyakan kelanjutan hasil tesnya.

"Pak, apa benar sertifikat cetak TOEFL bisa diambil hari ini?" tanya Alicia kepada laki-laki paruh baya itu.

Beliau yang sedang fokus pada komputer itu sontak mengangguk. "Kalau mbak mau menunggu, prosesnya masih setengah jam lagi. Karena masih ada kloter dua yang belum selesai ujian."

"Iya Pak. Saya tunggu tidak apa-apa," ujar Alicia sembari menyodorkan KTM miliknya. Lalu duduk di kursi tunggu.

"Ssttt."

Alicia yang mengotak-atik ponsel itu terkejut ketika bangku sebelahnya diisi oleh seseorang yang tiba-tiba berbisik kepadanya.

"Bwaaa!!"

"Ih, Afif nggak lucu tahu." Alicia mengusap dadanya.

"Kaget ya? Untung nggak jantungan." Afif terkekeh.

"Ada apa kamu ke sini, Fif?"

"Ngikut kamu dong." Afif tersenyum miring.

"Dih, belakangan ini kamu bercanda mulu deh."

"Lagian, kalau serius amat ya monooton. Ini loh, kemarin aku habis tes sudah ngantuk, malas nunggu sertifikatnya jadi. Makanya mau ambil sekarang." Afif menjelaskan sembari mengobrak-abrik isi tasnya.

"Lihat nih Al, coba kita tukaran draft gimana? Penasaran aku." Afif memberikan puluhan lembar kertas yang dijepit dengan klip itu.

Alicia mengiyakan saja, daripada Afif nanti kebanyakan nanya hal-hal lainnya. Setelah kejadian miris kala itu, sebenarnya Alicia merasa kurang nyaman berinteraksi dengan Afif. Tapi bagaimana pun, Alicia berusaha tidak menghapus banyak kebaikan Afif dengan satu kesalahan itu.

Afif menerima draft skripsi milik Alicia yang masih dalam bentuk soft file itu. "Lah, bab satu Al?"

"Iya-iya kamu sudah bab tiga. Pak Samsul loh, susah banget diminta waktu. Ya, rencananya sih Senin depan aku ketemu beliau," keluh Alicia sambil mengamati lembaran milik Afif yang isinya terlihat rapi itu.

"Kejar teruslah Al. Chat tiap hari, nanti orangnya notice. Beliau itu jarang di kampus soalnya, sering nyambi ngajar di kampus online." Afif memberikan saran.

Alicia mengangguk singkat. "Udah kok. Makanya baru tadi sore dibalas. Emh, punyamu kelihatan nice gini."

Afif mengambil kertasnya kembali. "Nice dong. Rasanya pengen ngebut biar cepet lulus. Semoga kita wisuda bareng ya?"

"Iya. Aku berharap, kita sama-sama dapat gelombang satu."

Keduanya lalu mengambil sertifikat yang baru saja jadi. Kemudian segera melenggang dari ruangan yang sudah mulai sepi itu.

"Al, emangnya kamu beneran sudah lamaran sama Mas Devan?" tanya Afif saat kedunya jalan menuju depan kampus.

Alicia mengernyitkan dahi. Ada motif apa Afif bertanya seperti ini? Lagian, tebakan itu mleset. Ah, Alicia bisa saja mengiyakan untuk alasannya agar Afif tak lagi mericuhi kehidupan pribadinya.

"Dibilangin siapa kamu?" Alicia mencoba santai menjawab pertanyaan personal itu.

"Dia yang bilang. Katanya, kamu calon istrinya dia. Kok nggak dengar kabar-kabar?"

Alicia terdiam sejenak. Dia pun tidak tahu kapan Devan mengatakan hal itu dan juga Devan tidak pernah cerita sama sekali. Apa ini cuma jebakan Afif saja agar Alicia bisa bercerita banyak?

"Kalau sudah emangnya kenapa?" Alicia menaikkan sebelah alisnya beberapa kali.

"Oh, beneran sudah? Ya gak papa sih, aku ikut senang aja kalau temanku sudah bahagia atas pilihannya." Afif tersenyum. Bahkan sebenarnya senyum palsu. Afif sama sekali tak percaya perkataan Devan yang terkesan ngaku-ngaku itu. Afif tahu, Alicia tipikal orang yang tak semudah itu untuk memasukkan laki-laki ke dalam hidupnya. Apalagi, modelan lelaki kematangan seperti Devan itu.

Pernah suatu waktu Afif memastikan kepada Ersya dan Amira, tapi keduanya pun tak tahu mengenai kabar itu. Yoga juga, kalau ditanyai tentang kakanya pasti dia ogah-ogahan menjawab, dengan alasan pertanyaan Afif itu tak penting.

"Sudah ya Fif, aku kurang nyaman jika ditanyai hal-hal personal seperti itu. Aku balik ya." Alicia tersenyum. Kemudian meninggalkan Afif yang masih mematung di sana. Akhirnya, Alicia bisa terbebas dari Afif beserta segala pertanyaan dan ajakan nebengnya.

Kelas Sore ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang