"Sini aku yang dorong. Mending kamu masuk situ." Devan menunjuk troli belanja yang masih kosong itu.
Sore ini, Alicia sedang berada di pusat perbelanjaan groceries untuk mengisi kebutuhan bulanan rumahnya. Tadinya, Alicia hendak kemari sendirian seperti biasanya. Namun, Devan tiba-tiba ingin menemaninya. Katanya, biar Alicia tida diculik om-om. Ah, ada aja alasan Devan.
"Dikira aku balita?" Tatapan Alicia jengah. "Lagian, ngapain sih mas pakai repot-repot ikut kesini?"
"Oh ya sudah, aku pulang." Devan berjalan menjauhi Alicia.
"Eh Eh!! Jangan."
"Tuh kan, bilang aja minta ditemani."
Alicia tidak menjawab itu. Dipikir-pikir, iya juga sih. Daripada sendirian, kan lebih enak ditemani. Apalagi itu Devan.
"He, lihat itu." Bola mata Devan mengarah pada seorang ibu muda yang sedang sibuk memilih dua jenis sayuran di tangannya. Beliau tampak kesusahan juga karena beliau menggendong seorang bayi, dan di dekatnya ada seorang balitanya merengek.
"Kenapa memang mas? Kita bantu tenangin anak-anaknya?" tanya Alicia lugu.
"Gak ada hubungannya sama kita. Maksudku, kamu membayangin gak sih? Ibu itu sudah pusing mikirin harga belanja, anak-anaknya rewel lagi. Mana nggak sama bapaknya juga."
"Sama aja. Lihat ini. Dikira aku nggak pusing mikirin harga?"
Devan baru menyadari Alicia sudah membawa empat bungkus detergen di tangannya. Padahal, Alicia baru beberapa detik lalu memegang cuma satu bungkus.
"Ngapain? Kamu mau cemilin sabun?" Devan terkejut, mana mungkin Alicia menggunakan sebanyak itu jika dirinya sendirian di rumah? Cuma sebulan lagi. Perempuan itu malah meletakkan keempatnya di lantai. Mungkin keberatan, karena masing-masing isinya 1,5 kg.
Alicia membuka kalkulator di ponselnya. Kemudian menghitung masing-masing harga dari setiap gramnya.
"Ya Allah, akuntansinya kebawa sampai kehidupan." Devan menepuk jidat melihat kelakuan Alicia ini. Toh, seharusnya tinggal memilih kebiasannya menggunakan merk yang mana. Kalau begini, Devan bisa-bisa sampai kelaparan menunggu Alicia berbelanja.
"Itu bener. Ilmunya diamalkan di kehidupan sehari-hari. Dan mas tahu? Sejak aku SMP pun juga pusing-pusing sendiri sama masalah groceries. Sama kayak ibu itu."
Alicia tersenyum jahil. "Hm, tentunya termasuk saat ini, aku pusing mikirin harga. Mikirin diskon mana yang jatuhnya paling ekonomis. Tentunya juga riweh dengan bayi."
Devan sontak menengok kanan kiri, tak ada bayi di sini kecuali yang digendong ibu tadi. "Bayi mana sih? Halu. Kita kesini cuma berdua."
Alicia mendongak, menyentuh hidung Devan. "Itu bayinya. Bayi besar."
Menyebalkan. Alicia berani juga mengatakan begitu. Mana dia memberikan penekanan di kata 'besar'. Dirnya seperti mendapatkan perkataan yang ada unsur body shamming. Ah, biarlah. Mungkin Alicia juga kesal sering dikatakan seperti anak kecil.
Devan memutuskan lesehan di lantai. Sambil menumpu dagunya di telapak tangan. Dirinya seakan menjadi pengamat pengunjung yang berlalu-lalang. Juga mengamati Alicia yang sedang memilih sabun serta shampoo refill. Tentunya, masih ribet dengan perhitungan rinci menggunakan kalkulator.
Kalau begitu kebiasaannya. Pantas saja, beberapa waktu lalu Alicia pernah mengatakan jika dirinya baru balik dari mall, menghabiskan waktu selama tiga jam di sana. Pantas saja, ternyata begini ulahnya.
"Mas, ngapain ndelosor gitu?" Alicia tertawa melihat wajah Devan yang tampak memelas.
"Capek. Berdiri terus encok aku. Emangnya kamu beneran kalau belanja sampai tiga jam?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelas Sore ✓
General FictionAlicia Evalina, seorang karyawan sekaligus mahasiswi kelas sore UNP. Dia merasa menemukan teman seperjuangan di kampusnya. Devan Evander, laki-laki yang dikira merupakan adik kelasnya itu. Dua insan ini memiliki kehidupan berbeda. Hidup Devan yang m...