Alicia berusaha mengambil makanan apapun yang tersisa di dapur. Tubuhnya semakin tak bertenaga. Bukan malah berangsur membaik.
Sedari pulang kerja tadi, ia hanya rebahan sambil termenung. Berharap bisa terlelap untuk mengistirahatkan tubuhnya. Paracetamol yang tadi sore ia konsumsi hanya berefek sesaat. Sekarang suhu tubuhnya kembali lagi pada 39°C sebagaimana yang ditunjukkan termometer beberapa menit lalu.
Daripada self diagnose, Alicia bergegas mengambil backpack yang berisi dokumen kesehatan dari lemari. Dia berniat menuju rumah sakit meskipun aslinya enggan. Namun, daripada cemas cemas akan keadaan yang teraea kurang fit selama tiga malam ini.
***
Sesudah membayar taksinya, Alicia berjalan cepat menuju ruang administrasi dengan langkahnya yang sedikit sempoyongan. Kebetulan cukup sepi di jam sebilan malam ini. Dia langsung menyebutkan semua keluhannya dan memberikan kartu asuransi kesehatannya.
Hingga bagian staff administrasi tersebut mencatat beberapa hal, kemudian tak lama mempersilahkan Alicia untuk menuju IGD dengan bantuannya.
Selang beberapa menit, seorang dokter menghampirinya yang sedang berada di brankar itu.
"Saya cek dulu ya," ucap seorang dokter laki-laki dengan nametag Anton itu.
Selanjutnya, Alicia hanya mengiyakan apa yang dikatakan dan diperintahkan Dokter Anton. Mulai dari cek tekanan darah, suhu tubuhnya sampai menanyakan beberapa hal.
"Perlu segera cek darah," ujar Anton.
"Sekarang?" tanya Alicia reflek.
"Ya, sekarang. Supaya cepat ditangani." Dokter itu tersenyum ramah. "Setelah ini sampelnya akan dicek dulu laboratorium, pengecekan tidak sampai 30 menit."
Tak lama Dokter Anton selesai mengambil darah.
Alicia bergedik ngeri merasakan hawa rumah sakit. Apalagi lalu lalang manusia tidak begitu banyak. Sedangkan di sebelah kanannya ada seorang kakek yang terbaring lemah. Lalu sebelah kirinya ada anak laki-laki yang mengeluhkan lukanya yang kesakitan kepada ibunya. Sungguh tidak ada yang bisa diajak berbicara disini. Membuat dirinya cukup mengantuk sebab termenung sembari menatap langit-langit.
"Mbak? Hasil lab nya positif.."
"C*vid? Sudah tahun berapa ini? Saya bosan sudah 3x terpapar." Alicia menggaruk dahinya heran.
Perawat it melanjutkan penjelasannya. "Maaf mbak, bukan itu. Tadi Dokter Anton memutuskan untuk cek darah di laboraturium karena prediksi menyerupai gejala antara tifus maupun DBD. Sesuai hasil sampel darah mbak barusan, hasilnya positif DBD."
"Maaf saya menyala. Lalu, apakah saya bisa langsung mengambil obatnya setelah ini?"
"Mbak dirawat inap disini sampai keadaan mbak membaik. Setelah itu baru bisa rawat jalan di rumah untuk pemulihan," perawat itu menambahkan.
"Saya terlambat periksa kemari ya mbak sampai harus rawat inap?"
"Semenjak mbak merasakan kurang sehat, sebenarnya itu sudah gejala dari DBD. Mungkin, mbak belum menyadari itu. Tetapi, pasien DBD biasanya rawat inap until pemantauan berkala oleh tim medis atas kondisinya."
Alicia mengangguk. Bukan pertanda paham, namun lebih tepatnya pasrah. Jika dipikir-pikir, disini lebih baik karna ia masih terpantau kesehatannya oleh tim medis yang otomatis mempercepat sembuhnya, daripada di rumah sendirian, dan dirinya tidak tahu bagaimana penanganannya.
"Pindah di ruangan ya mbak, pemeriksaan sudah selesai," ujar perawat itu. "Didorong atau mbak masih kuat untuk jalan?"
"Ruangan saya dimana mbak?"
"Dilantai dua. Gimana?"
"Jalan saja mbak. Minta tolong bantu saja."
Wanita itu pun menuntun Alicia dengan perlahan dan hati-hati. Sembari membawakan backpack yang dibawanya.
"Loh mbak kesini sendirian?" tanya perawat ketika baru saja berada di ruang rawat inap.
"Iya mbak,"
Perawat itu menunjuk stiker di tembok dekat brankar. "Ada nomor untuk urgent call. Bisa langsung telpon kalau perlu."
Alicia mengangguk paham. Wanita itu mulai memasang cairan infus yang sudah tergantung disana.
Alicia menutup mata, tidak berani melihat tangannya diapa-apakan. Meskipun sebenarnya ia ingin menjerit, tetapi malu juga dengan umurnya. Dia hanya menggigit bibir dalamnya, menahan rasa sakit dari jarum infus itu.
"Bentar kok mbak. Emh, kesibukannya sekarang lagi apa? Kerja atau kuliah mbak?"
"Dua-duanya." Alicia menjawab sekenanya. Bisa-bisanya beliau ini basa-basi di saat menanganinya.
"Nah sudah mbak. Diusahakan tidak terlalu banyak gerak ya tangannya, supaya tidak bengkak atau berdarah," peringatnya. "Oh iya, di atas laci ini ada porsi makanan untuk makan malam. Jangan lupa dihabiskan. Mbak mau tanya sesuatu?"
"Kapan saya bisa pulang?" tanya Alicia lugu. Seperti seorang anak yang traumatik terhadap rumah sakit.
"Kami usahakan secepatnya." Perawat itu tersenyum. "Saya tinggal dulu ya mbak."
Keheningan menyertainya dengan view beberapa gedung dan jalanan ibukota yang terlihat dari jendela. Alicia menyalakan televisi 21 inch yang tertanggal di tembok itu. Mencari channel yang menayangkan acara komedi malam ini. Berharap terhibur dari situ. Sambil memaksakan diri untuk menyantap makanan rumah sakit yang ia rasakan sangat hambar kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelas Sore ✓
General FictionAlicia Evalina, seorang karyawan sekaligus mahasiswi kelas sore UNP. Dia merasa menemukan teman seperjuangan di kampusnya. Devan Evander, laki-laki yang dikira merupakan adik kelasnya itu. Dua insan ini memiliki kehidupan berbeda. Hidup Devan yang m...