Alicia terbangun sejak jam tiga pagi lantaran tak dapat tidur dengan nyenyak. Ambisinya untuk cepat-cepat menyelesaikan skripsi membuat hatinya gelisah.
Kini perempuan yang masih mengenakan piyama itu tampak betah berkutat di hadapan laptop untuk mengurusi revisinya. Namun, jemarinya terhenti seketika, lantaran rasa mual membuat tubuhnya tak nyaman.
"Eugh..."
Alicia berlari kecil menuju kamar mandi. Perut dan kerongkongannya sudah ingin memuntahkan sesuatu. Hal itu membuat Alicia lemas dan merasakan sakit di bagian perutnya.
Dirasa sudah lega, Alicia membasuh wajahnya dan segera merebahkan dirinya. Ia meringkuk, lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Rasanya Alicia tak punya tenaga untuk mengurusi skripsi itu pagi ini. Yang diinginkan hanya istirahat agar dirinya kembali fit.
Drrttttt
Alicia mengacak-acak rambutnya. Merasa belum lama terlelap, namun getaran ponselnya membuat dirinya kembali terbangun. Dia meraih benda pipih yang tertindih di bawah lengannya. Lalu mencari siapa orang yang memberinya notifikasi di jam tujuh pagi ini.
Al, aku pamit ya. Semangat pejuang skripsi!
Terkejut. Ternyata ada dua kali panggilan telepon tak terjawab dari Devan beberapa menit lalu. Karena tak mengangkatnya, Devan lantas mengirimkan foto tiket kereta api beserta kalimat singkat itu.
Alicia loncat dari kasurnya. Mencari jaket dan kunci motor untuk cepat-cepat pergi ke stasiun sebelum Devan berangkat ke Jakarta. Tetapi masalahnya, Alicia tak bisa memastikan dirinya sampai tepat waktu atau tidak. Rumahnya cukup jauh dari stasiun, sementara di kertas itu tertera setengah jam lagi Devan akan berangkat.
Tak ambil pusing, Alicia sudah melaju dengan kecepatan lumayan tinggi di jalanan yang agak sepi di hari minggu pagi ini. Juga tak lagi memperdulikan tampilan yang masih awut-awutan. Yang diinginkan hanya menemui Devan. Karena setelah ini, Alicia tak bisa memastikan kapan lagi bisa menemui Devan dengan mudah.
Gara-gara terjebak lampu merah di sepuluh menit terakhir, membuat Alicia semakin deg-deg'an. Karena hal itu membuatnya sampai di stasiun lima menit sebelum jam keberangkatan. Harapannya, Devan belum masuk gerbong sekarang.
"Mas!" Tatapan Alicia terhenti pada dua pemuda yang sedang berbincang. Alicia berlari ke sana. Tebakannya tak salah, Devan dan Yoga tampak berbincang di depan pagar pembatas antara ruang tunggu dan area rel kereta.
"Mas? Kenapa harus pergi?" Alicia reflek menarik ransel yang digunakan Devan. Membuat laki-laki itu mengurungkan langkahnya untuk melewati pagar itu.
Devan menoleh ke belakang. Tidak menyangka Alicia sudah berada di depan matanya. "Aku kerja. Aku nggak bisa bantah Pak Bos."
Alicia sontak cemberut mendengar kabar itu. "Ta-tapi kenapa mas nggak bilang dari jauh hari? Bahkan mas sudah dua minggu nggak ngabarin aku. Cuek."
"Kamu yang nggak chat. Lagian, setidaknya aku tadi ngabarin."
Alicia menghentakkan kaki mendengarkan itu. Jawaban Devan sama sekali tak sesuai harapannya. Perempuan itu merasa urat malunya merosot, gara-gara keceplosan mengatakan kalimat yang menyiratkan bahwa dirinya tidak ingin dicuekin.
"Aku nggak ngabarin, karena aku sengaja kasih waktu ke kamu. Kelihatannya, kamu masih kaget setelah aku mengutarakan niatku waktu itu." Devan mendengus pelan. "Makasih ya. Aku pergi dulu. Gak usah kangen."
"Daah mas. Hati-hati ya." Alicia melambaikan tangannya saat Devan melenggang. Melihat pintu gerbong lain satu persatu tertutup, Alicia tak mungkin menghalangi langkah Devan. Apalagi untuk keperluan pentingnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kelas Sore ✓
General FictionAlicia Evalina, seorang karyawan sekaligus mahasiswi kelas sore UNP. Dia merasa menemukan teman seperjuangan di kampusnya. Devan Evander, laki-laki yang dikira merupakan adik kelasnya itu. Dua insan ini memiliki kehidupan berbeda. Hidup Devan yang m...