34 | Pengamat Tesis

11 1 0
                                    

Alicia berpindah posisi dari duduknya yang tadi berada di sebrang Devan. Perempuan ini kini duduk di sebelah laki-laki yang sedang fokus mengetik sepuluh jari dengan cepat. Bola mata Alicia fokus mengikuti pergerakan kursor itu.

"Jangan gitu lihatnya, makin pusing." Devan menghentikan aktivitasnya. Kemudian meneguk es jeruk yang baru saja diantar. "Emang paham?"

"Paham tahu, ini cuma seperti karya ilmiah kan mas?" tanya Alicia membuat Devan tersedak es jeruk.

"Ah kamu, browsing sendiri sana." Devan memutuskan melanjutkan ketikannya daripada mengurusi pertanyaan klasik dari Alicia itu.

"Hhm, emangnya kenapa sih waktu itu mas harus lanjut kuliah lagi?" tanya Alicia penasaran. Sambil menyuap nasi goreng di depannya. Anggap saja, melihat Devan mengerjakan tesis ini sama serunya dengan menonton channel YouTube kesukaan Alicia.

"Ya ... Aku merasa yang didapatkan selama S1 masih kurang."

Alicia melotot mendengar itu. Se-enteng itu jawaban Devan? Meskipun IPK yang didapat Alicia selama ini memuaskan, tetapi Alicia merasakan betapa lelahnya menjalani semester enam ini, tenaga dan pikirannya secara bersamaan terkuras habis-habisan. Lah, Devan dengan senangnya melanjutkan kuliah part dua? Padahal, posisi dirinya sama seperti Devan, sama-sama pekerja yang mengambil kelas sore di UNP. Justru, tantangan Devan dalam perkuliahan jauh lebih berat karena jenjangnya lebih tinggi.

Entahlah motif lain apa yang membuat Devan sampai berminat kuliah lagi. Tetapi, Alicia merasa kagum karena selama ini dia tak pernah mendengar Devan mengeluh sedikitpun tentang menjalani perkuliahan.

"Kalau boleh tahu, apa mas pernah merasa capek dan jenuh menjalani ini?" Alicia masih melanjutkan perbincangan di tengah dirinya makan dan Devan yang asyik mengetik itu.

Devan menyipit. "Kenapa tanya gitu?"

"Sebenarnya beberapa waktu lalu, aku ada rencana untuk S2. Tetapi, aku membutuhkan banyak pertimbangan juga."

"Biasa aja menurutku. Lebih capek lagi, didesak mama untuk turutin kemauannya. Disuruh buru-buru beli ini itu atau bahkan nikah." Devan menggaruk tengkuknya yang nggak gatal. "Ya, pastikan dulu, kamu punya tujuan yang jelas kenapa harus lanjut jenjang. Cuma keinginan atau kebutuhan. Lain waktu ya, aku spoiler banyak tentang magister."

Alicia mengangguk pelan. Tak berniat untuk melanjutkan pembicaraannya, karena melihat Devan yang kian serius dengan aktivitasnya. Alicia menjadi takut mengganggu, jika banyak bertanya.

"Semangat melanjutkan. Semoga cepat lulus. Aku balik ke kelas ya mas."

Devan mengacungkan jempolnya singkat. Lantas Alicia pergi ke kelas. Dua minggu setelah Afif mengakui kesalahannya, rasanya melangkah ke kelas adalah hal yang tak lagi ringan. Rasa trauma masih mengelabuhi lubuk hatinya. Sehingga Alicia merasa, kenyamanan dia berada di kelas sudah berkurang. Terutama, apabila Ia harus berkumpul dengan PPH yang mau tak mau juga berada dalam lingkaran yang sama dengan Afif di sana. Ah, makanya beberapa waktu ini Alicia sempat sedikit menarik diri dari perkumpulan mereka.

"Hei, sini loh, suka benar keliling kampus?" ujar Afif yang tengah duduk di bangku depan kelas bersama tiga teman lainnya.

Ini pertama kalinya, Alicia memutuskan ikut nimbrung lagi dengan mereka. Meskipun dia telah memaafkan kesalahan Afif sehari setelah laki-laki itu mengakuinya, tetap rasa saja was-was itu tetap melekat.

Alicia tersenyum kecil. Lalu duduk di bangku kosong sebelah Ersya.

"Gimana? Besok enaknya jam berapa nih?" Amira bertanya.

"Jam dua dini hari nanti. Gak pakai molor," sahut Yoga.

"Eh eh? Kok nanti? Bukannya besok?" Amira terkejut dengan rencana ke luar kota yang tiba-tiba jadwalnya diajukan ini.

Yoga sontak memberikan sentilan pada dahi Amira. "Dini hari kalau besok, itu namanya sudah Senin. Anda nggak mau kerja!? Dih, situ sendiri aja yang bolos."

"Emh, kalian mau kemana?" tanya Alicia ragu, dirinya di sini menjadi orang yang ketinggalan info.

"Kamu pasti nggak buka grup ya? Dari tadi pagi, kita bahas loh kalau nanti mau berangkat mendaki. Ikut ya? Yayayaya?" Ersya mengguncang bahu Alicia pelan.

Alicia membuka ponselnya, melihat grup chat mereka yang perasaan sepi-sepi aja. "Oh, ternyata kepencet arsip."

"Ah kamu palingan sengaja yang sengaja masukin ke arsip. Pantesan kok kamu kelihatan sudah nggak bolo sama kita," cibir Yoga sambil memanyunkan bibir beberapa kali.

"Dih, alay Yog. Dikira kita anak TK aja pakai bolo-boloan?" Ersya menyenggol bahu Yoga. Ia menjadi kesal karena Yoga begitu. Padahal, laki-laki itu justru yang lebih tahu terlebih dulu masalah Alicia dari Devan.

"Ya sudah, pokoknya nanti setengah dua pagi aku jemput ke rumah kalian satu-satu. Supaya jam dua kita bisa langsung otw ke sana." Afif tadi menyanggupi untuk menggunakan kendaraannya saja untuk pergi ke Penanggungan. Jadi, tentunya dirinya perlu prepare lebih awal.

"Dan anda, awas ya sampai molor gara-gara dandan!" Yoga memperingati Amira sambil menunjuk wajah perempuan itu.

"Iya. Nanti aku nggak pakai dandan di rumah. Langsung bawa seperangkat alat make up dan cermin sebesar pintu lemari." Amira mengibaskan rambutnya, pura-pura jadi perempuan lebay. Hal itu lantas menjadi bahan tawaan mereka.

"Al, ikut ya? Kita jarang berlima jarang pergi bareng begini." Raut Ersya memohon. Pasalnya jika diingat-ingat, kebersamaan di luar kampus yang dilakukan mereka berlima tidak lebih dari menikmati wisata kuliner pinggir jalanan sekitar kampus.

Alicia mengiyakan. Pergi bersama ke luar kota adalah hal yang ditunggu Alicia. Karena selama ini hanya berujung menjadi rencana yang tertunda. Alias wacana doang. Ya, sering kali alasannya seklasik tidak menemukan hari yang tepat. Biasanya, Yoga sering menolak karena waktu yang ditentukan mereka berempat, bertepatan dengan shift kerjanya. Jadi, mereka memutuskan untuk menunda di lain waktu daripada memaksa berangkat namun tidak fullteam.

Hal ini yang membuat Alicia juga sadar, mengapa rencana ini cukup mendadak. Memang tadi pagi mereka membahas itu, tetapi dini hari nanti juga mereka langsung berangkat ke sana.

Ersya, Amira, dan Afif memutuskan untuk pulang dahulu. Katanya, pengen siap-siap dan tidur lebih awal. Setelah mereka bertiga melenggang, Alicia kembali ke kelas untuk mengemasi barangnya yang masih tergeletak di atas meja.

"Hei, Al. Kamu tahu?" Yoga mendekati bangku di mana Alicia berada.

"Kebiasaan. Mana aku tahu kalau kamu belum bilang? Ada apa emangnya?" sahut Alicia penasaran.

"Masku, aslinya nggak bolehin kamu ikut berangkat nanti." Yoga menyodorkan ponselnya. Menunjukkan room chat dengan Devan.

Alicia mengernyitkan dahi membaca chat itu. Selain khawatir akan adiknya yang ujung-ujungnya kelelahan, di sana Devan juga menggambarkan kecemasannya jika Alicia ikut-ikutan berangkat. Devan masih ragu, Afif akan bertingkah di luar nalar lagi. Namun, bujukan dari Yoga akhirnya membuat Devan berusaha menghalau khawatirkan dan cemasnya.

"Gak masalah. Aku sudah janji ke Mas Devan untuk pastikan kamu tetap aman. Meskipun, posisinya kita pergi juga ada dia." Yoga tersenyum kecil. Berusaha membuat Alicia tenang. Laki-laki itu tahu, perbuatan Afif termasuk kelewatan dan membuat Alicia trauma.

"Makasih ya, sudah meyakinkan ke Mas Devan."

"Sudah semestinya."

Kelas Sore ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang