Sepulang kuliah tadi, Alicia langsung menyiapkan keperluan yang akan dia gunakan untuk mendaki. Dia mengecek kembali isi tas berisi pakaian dan makanan yang menjadi satu di dalam sana.
Untungnya, Afif memiliki alat-alat lengkap yang dibutuhkan saat mendaki. Jadi, mereka berempat sebatas membawa keperluan pribadi masing-masing.
Alicia meransel tasnya, ketika suara klakson mobil terdengar nyaring di pukul satu lewat ini. Sudah dipastikan itu Afif.
"Hei, aku masuk ya?" Alicia duduk di jok belakang. Di sebelah Amira yang termenung itu.
Afif menoleh ke belakang. "Di depan ya Al? Bantu maps."
"Emh, Yoga sudah tentukan rute ke sana. Dia aja ya?" alibi Alicia. Padahal, dirinya tadi hanya melihat Yoga membuka maps sekilas, bukan menentukan rute terbaik untuk menuju tujuan.
Afif berdeham dan memilih melanjutkan perjalanan. Hal itu membuat Alicia lega. Lagian, mendingan cewek-cewek jadi satu di tengah. Biar Yoga saja yang menemani Afif nyetir. Daripada Alicia yang canggung.
Alicia lantas mengamati Amira yang tampak muram. "Kenapa sih, Mir?"
Amira menggeliatkan tubuhnya. "Emhhh, Afif loh Al. Jahil."
Alicia mengerutkan dahi. Tumben-tumbenan Amira sampai ngambek begini. Padahal, biasanya Afif sengaja jahil kepada Amira pun tidak seberapa. "Kalau gitu, coba jahilin balik."
Amira sontak melotot. Dia memilih merapat ke Alicia. Menjadikan paha temannya itu sebagai bantalan untuk rebahan.
"Kamu kalau rewel tak turunkan di jalan loh," celetuk Afif namun tak digubris oleh Amira. "Biasa Al, kalau ngantuk suka merengek."
Alicia terkekeh. Lantas melakukan puk-puk kepada Amira. Biar cepat pulas.
"Ah, tante ini penuhin jok aja. Kasihan Alicia se-kyut itu kegencet badan bongsormu!" Ersya menapuk paha Amira agar cepat-cepat bangun.
"Huh, berisik." Setelah Ersya masuk, gantian Amira yang nemplok pada Ersya supaya tidurnya semakin afdol.
"Apaan sih, ngantukan kayak bocah!" Ersya tak terima. Perawakan Amira tetap lebih besar daripada dirinya. Tetapi dia gak sadar diri, sampai-sampai bersandar pada Ersya. Kalau begini, malahan Ersya yang kegencet ke pintu.
"Lah kok, Ersya ke rumahmu Yog?" tanya Afif.
Yoga baru saja duduk sembari membetulkan sabuk pengaman. "Ah iya. Ersya sengaja datang ke rumahku. Supaya kamu jemputnya sekalian. Oh ya, maps aman kok bro."
"Nah, saatnya kita mencari playlist!" pekik Ersya.
"Gak deh, playlist punyamu isinya remix doang!" Yoga berdecak sebal. Lagu kesukaan Ersya itu sangat random. Kalau tidak begitu, playlist khas angkot pun disetel.
"Dah dah, aku sudah buat. Premium lagi." Afif tersenyum. Membuat Yoga ikutan excited menerima ponsel dari Afif.
Dua laki-laki itu sibuk membincangkan pasal playlist terbaru. Sementara Alicia, hanya mengamati jalanan yang sepi ini. Dia pikir, perjalanan akan terasa heboh dengan sisi-sisi cerewet Ersya dan Amira. Tetapi, keduanya malah tampak tertidur pulas setelah berdebat kecil karena benda se-sepele bantal leher.
"Gak betah ya diam-diaman? Kelihatan gelisah gitu?" celetuk Afif sembari melihat dari kaca.
Alicia terkekeh. "Nggak juga. Jalanan kelihatan sejuk gitu kalau nggak padat orang."
"Cocok untuk spot over thinking?" Yoga ikut terkekeh mendengar itu. Hujan beberapa hari yang lalu memang membuat suasana jalanan lain daripada biasannya.
Hampir dua jam berselang, mereka sampai di tujuan. Sehingga ketiganya sibuk membereskan apa yang akan dibawa naik ke sana.
"Yaelah, bangun-bangun!" Afif mengguncang lengan Ersya dan Amira supaya bisa cepat mengumpulkan nyawanya kembali.
"Hah, dah sampai kah? Cepat banget?" Ersya menengok kanan kirinya.
"Sya, aku kebelet banget. Kalau ngompol gimana?" Amira menggeser Ersya ke pintu supaya bisa segera keluar.
"Alah, beban banget sih! Kenapa nggak dari tadi. Ayo." Ersya menarik tangan Amira untuk mengikutinya ke arah minimarket yang terletak sekitar 300 meter dari tempatnya parkir.
Yoga sontak berlari kecil mengikuti keduanya. Membuat Alicia mengernyitkan dahi.
"Biasa Yoga, dari tadi di jalan ngerasa perutnya mules." Afif yang tadinya mengambil barang tiba-tiba sudah bersandar pada pintu luar mobil. Berada di samping Alicia.
"Al, makasih ya sudah maafin aku. Akhirnya, kamu benar-benar mau ngumpul sama kita lagi." Afif menatap Alicia dengan senyum yang merekah.
Alicia mengangguk. Sepertinya, memang itu yang harus dilakukan Alicia. Meski awalnya terasa berat, namun memaafkan adalah satu hal yang menjadi pegangan Alicia.
Usai mereka bertiga kembali. Dengan segera melanjutkan mendaki gunung yang masih dibilang MDPL lebih sedikit daripada lainnya.
Hampir jam lima pagi ini, banyak pengunjung yang sudah ikut ke sana. Sama-sama tak ingin ketinggalan untuk melihat pemandangan di pagi hari. Bertepatan saat mata hari terbit.
"Ih, tungguin dong. Capek tahu." Amira yang ngomel-ngomel sambil membetulkan ranselnya itu membuat lainnya terkekeh.
"Ah kamu. Kalau capek mas ngapain ikut? Alay." Yoga tertawa renyah.
Sampai pada pemberhentian. Mereka tak ingin ketinggalan momen mengabadikan kenangan yang jarang-jarang ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelas Sore ✓
Ficción GeneralAlicia Evalina, seorang karyawan sekaligus mahasiswi kelas sore UNP. Dia merasa menemukan teman seperjuangan di kampusnya. Devan Evander, laki-laki yang dikira merupakan adik kelasnya itu. Dua insan ini memiliki kehidupan berbeda. Hidup Devan yang m...