REASONS (19)

417 66 11
                                    

Tak ada percakapan antara Seola dan Dawon sejak keduanya pulang dari rumah sakit. Dawon lebih dulu mendiamkan sang kakak saat tau jika Seola menjual ponselnya.

Gadis itu tentu marah, benda itu jelas cukup di butuhkan. Sebenarnya sejak kemarin Seola sudah berniat untuk menjual ponselnya. Namun Dawon tak setuju. Jika hanya untuk biaya terapi, Dawon masih sanggup.

Namun kali ini Dawon cukup kesal karna Seola menjual ponsel tanpa sepengetahuannya. Selain karna ponsel itu termasuk benda berharga Seola, benda itu juga cukup dibutuhkan jika sewaktu-waktu Dawon ingin menghubungi kakaknya.

Sekedar bertukar kabar saat Dawon sedang bekerja di luar rumah.

"Dawon-ah, Unnie hanya berusaha meringankan bebanmu." ucap Seola setelah keduanya masuk ke dalam rumah. Ia berusaha menjelaskan pada Dawon agar adiknya itu tak marah padanya.

Dawon yang tadinya berniat pergi ke kamar seketika mengurungkan niatnya. Ia berbalik, menatap sang kakak yang masih berada di dekat pintu.

"Sudah berapa kali aku katakan padamu Unnie, kau bukan beban."

"Aku masih sanggup membiayai mu tanpa kau harus menjual ponselmu. Mengapa kau tak percaya padaku Unnie?" gurat lelah bercampur rasa kecewa karna tindakan sang kakak. Mengapa kakaknya itu tak mau mendengar ucapannya?

Seola terdiam dengan perasaan bersalah. Sungguh ia tak bermaksud mengecewakan adiknya. Ia hanya ingin beban yang adiknya tanggung sedikit berkurang.

Dawon tak pernah mengerti sebesar apa rasa sakit yang Seola rasakan setiap kali melihatnya harus bekerja keras. Hal yang tak seharusnya Dawon lakukan di usianya yang masih terbilang muda.

Dawon harus berhenti kuliah demi membiayai kehidupannya dengan sang kakak.

"Unnie bukan tak percaya padamu Dawon-ah, Unnie..."

"Sudahlah, aku lelah. Unnie juga segeralah istirahat."

Dawon lebih dulu pergi ke kamar. Meninggalkan Seola yang masih berada di tempatnya.

Untuk pertama kalinya kedua gadis itu bertengkar. Dan untuk pertama kalinya Dawon memilih untuk mendiamkan Seola.

Menghela nafas panjang, Seola menatap amplop coklat berisi uang di tangannya. Uang itu hasil dari ia menjual ponselnya. Tak di sangka jika Dawon akan menolak.

Seola menggerakkan kursi rodanya, ia mengunci pintu lebih dulu sebelum pergi menyusul Dawon ke kamar.

Pagi harinya, ia sudah tak mendapati sang adik di kamar. Seola menduga jika Dawon sudah pergi bekerja bahkan sebelum matahari terbit. Sebuah note tampak di atas nakas, Seola segera meraihnya.

AKU PERGI LEBIH AWAL. JANGAN LUPA UNTUK SARAPAN DAN MEMINUM OBATMU.

Itu pesan dari Dawon. Adiknya memilih menulisnya di kertas karna sekarang mereka tak bisa bertukar kabar lewat ponsel.

.

.

.

Jarak yang cukup jauh membuatnya harus pergi pagi buta agar tak terlambat datang. Hari ini Dawon berencana mendatangi cafe milik Jennie. Ada yang harus ia luruskan perihal gaji yang ia terima dari Jennie kemarin.

Gaji yang menurutnya tak masuk akal.

Dawon tiba tepat saat cafe baru saja di buka. Gadis itu berlari kecil menghampiri salah seorang karyawan cafe yang tengah membersihkan kaca.

"Permisi, apakah Jennie Sajangnim sudah datang?"

Pria itu menoleh, ia menghentikan aktifitasnya dan beralih menatap Dawoh.

REASONSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang