32 : Berakhir

16.9K 2.2K 189
                                    

Aroma obat-obatan dan disinfektan menyambut indra penciuman Juno begitu menapakkan kakinya di rumah sakit. Ia tahu dari Kak Willy kalau Widi masih berada di IGD, sehingga dengan cepat ia berlari ke arah bagian sayap kiri rumah sakit. Di sana, ia melihat Kak Ema dan Kak Willy sedang duduk bersisian di ruang tunggu IGD.

"Juno!" panggil Kak Ema setengah berteriak seraya mengangkat tangan kanannya ke udara.

Juno berjalan mendekat dan menatap wajah Kak Ema. Perempuan berkacamata itu pucat, bibirnya kering, kedua matanya tajam seolah tidak ingin teralihkan dari fokusnya. Kak Ema masih terlihat jelas kalau ia masih panik.

"Gimana Widi sekarang, Kak?" tanya Juno tanpa basa-basi.

"Tadi sih langsung diinfus antidot*," jawab Kak Ema. "Masih belum sadar."

Juno mengangguk.

"Ke mana lo tadi?" Giliran Kak Willy yang bertanya. Laki-laki itu beranjak dari kursi dan menepuk pundak kiri Juno. "Selesaiin dulu urusan lo sama Widi. Jangan buat anak orang sampai kayak begitu. Kita sama-sama ngerantau jauh, harusnya saling jaga."

Sekali lagi, Juno mengangguk. "Iya, Kak. Gue bakal tungguin Widi sampai bangun. Ada yang perlu gue omongin sama dia."

Tiga orang itu menunggu di depan ruang IGD. Kak Ema berkali-kali menggoyangkan kedua kakinya dengan kecepatan konstan, terlihat gelisah. Sementara Kak Willy baru saja membeli minuman kaleng dari mesin otomatis untuk kami bertiga, meskipun tidak ada satu pun dari kami yang membuka minuman itu.

Setelah hampir satu jam menunggu, seorang perempuan yang memakai jas dokter keluar dari ruangan dan memanggil wali Widi. Kak Ema yang duduk paling dekat dengan pintu berdiri dan menghampirinya. Dari perbincangan itu, Kak Ema mengembuskan napas panjang dan bahu kakunya mulai terlihat lebih rileks. Terlihat jelas dokter memberi informasi bahwa Widi baik-baik saja.

Penjelasan dari dokter singkat. Tidak sampai lima menit, Kak Ema kembali duduk bersama Juno dan Kak Willy.

"Widi udah sadar. Dia nyariin lo, Jun," ujar Kak Ema. "Gue udah izin dokter supaya lo bisa masuk."

Juno mengangguk. "Gue masuk ya, Kak."

Kaki berbalut sepatu kets warna biru putih itu berjalan perlahan masuk ke IGD. Karena yang masuk ke IGD hanya boleh satu orang wali, maka Juno masuk lebih dulu. Ia masuk dan diarahkan ke bed nomor tiga yang tertutup tirai putih. Juno mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya membuka tirai itu.

Tubuh kurus Widi terbaring di brankar. Tangan kirinya tersambung selang infus dengan cairan obat yang menetes dengan kecepatan konstan. Juno menatap kedua mata Widi yang juga turut menatapnya. Gadis berambut pendek itu tersenyum tipis kepada Juno.

"Hai, Wid," sapa Juno. "Lo nggak papa?"

Widi mengangguk lemah. Padahal ia tahu, pertanyaan yang keluar dari mulutnya itu begitu konyol. Bagaimana bisa Widi baik-baik saja setelah mencoba bunuh diri? Widi tidak baik-baik saja, baik itu mental dan fisiknya.

"Jun-" Widi mencoba bicara dan duduk.

"Tidur aja, Wid. Nggak papa." Juno menahan gadis itu untuk duduk.

"Akhirnya kamu datang ke sini? Apa dengan cara ini kamu baru bisa lihat ke aku, Jun?" tanya Widi dengan lirih.

"Jadi bener ya? Lo senekat ini karena gue?"

Sejak membuka tirai ini, Juno sudah mulai menekankan kata gue-lo. Sengaja. Untuk memberi jarak, supaya Widi paham kalau hubungan mereka tidak akan lebih dari sekadar teman. Sepertinya Widi juga menyadari hal itu. Terlihat dari seringai tipis yang ia berikan begitu pertanyaan Juno terdengar di telinganya.

JASA PACAR SEHARI ( END ✔️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang