38 : Cincin yang Hilang

20.3K 2.1K 48
                                    

Bau obat-obatan yang menyengat. Suara isak tangis yang samar-samar terdengar. Itu suara Kaila. Tidak, tidak. Juno tidak ingin membuat gadis itu menangis. Ia tidak ingin membuat gadisnya kecewa. Juno berusaha membuka kedua matanya. Seperti ada lem super kuat yang menempel di kelopak mata. Tubuh Juno terlalu lelah dan lemas. Kelopak mata yang berusaha ia buka, hanya terbuka sedikit demi sedikit. Sinar lampu yang menusuk indra penglihatannya membuat Juno kembali terpejam. Ia mencoba membuka kedua matanya kembali, dan akhirnya bisa terbuka dan berhasil menyesuaikan dengan cahaya yang ia terima.

Orang yang pertama ia lihat adalah Kaila. Gadis itu duduk di samping brankar, menunduk, dan menangis. Kaila berkali-kali mengusap air mata menggunakan tisu yang ia pegang. Riasan matanya sudah luntur, membuat sekitar mata Kaila menggelap. Kebaya yang tadi bersembunyi di balik toga, rupanya berwarna merah muda. Gadis itu menggenggam tangannya erat. Juno tersenyum kecil. Isakan tangis Kaila yang membuatnya terbangun.

"La," panggilnya lemah. Juno sudah tidak merasa sakit kepala. Hanya saja, ia masih merasa tidak bertenaga.

Kaila menatap Juno dengan uraian air mata di pipinya. "Juno. Kamu udah sadar? Maafin aku. Maafin aku."

Juno sedikit mengernyit. Untuk apa Kaila meminta maaf? Bukankah seharusnya Juno yang memohon ampunan Kaila? Karena gadis itu tidak bisa foto studio yang telah ia rencakan, karena Juno merusak acara wisuda perempuan itu.

"Maafin aku karena maksa kamu buat datang ke wisuda aku." Gadis itu mengusap air matanya lagi dengan tisu. "Kata dokter kamu perlu istirahat karena kecapekan dan kurang zat besi. Maaf karena marah nggak jelas cuma karena kamu nggak bisa datang ke wisudaku. Semua salah aku. Karena aku, kamu jadi harus kelelahan dan ngejar supaya cepet lulus. Aku nggak tahu kalau kamu berusaha sekeras ini. Maaf, Jun."

"La. Kamu nggak salah. Aku aja yang nggak bisa jaga kesehatan. Maaf ya, kamu jadi gagal foto studio."

Kaila menggelengkan kepalanya. "Sssstt. Gampang urusan foto studio. Nanti juga bisa make up ulang dan foto di Jakarta."

"Aku pingsan berapa jam?"

"Hm, sekitar tiga jam. Udah sore sih ini."

"La." Juno berusaha untuk duduk. Kaila sedikit membantu laki-laki itu. Juno baru menyadari tangan kirinya sudah terhubung dengan selang infus. "Kak Jerry ke mana?"

"Oh, Kak Jerry lagi urus administrasi. Tadi kata dokter, kamu perlu istirahat di sini semalam. Tapi, Kak Jerry bilang kamu mau dibawa ke Jakarta aja. Terus minta surat rujukan dokter sama surat pernyataan apa gitu aku nggak ngerti."

Juno menganggukkan kepalanya. Ia menatap Kaila yang rambutnya mulai berantakan. Padahal terakhir ia ingat, masih sangat rapi. Ia menyesal karena tidak makan dulu tadi. Ini semua karena rasa gugup akan memberikan cincin untuk gadis itu. Juno jadi teringat buket bunga yang ia berikan untuk Kaila. Laki-laki berbahu lebar itu menggerak-gerakkan bola matanya, mencari sekumpulan buket yang sudah ia berikan untuk gadisnya.

"La, bunga yang aku kasih? Mana?"

Kaila mengernyit. "Bunga? Kenapa? Udah, kamu istirahat aja. Nggak usah mikir bunga-bunga dulu."

Juno mengembuskan napas perlahan. "Bukan gitu, Sayang. Masalahnya ada sesuatu di bunga itu."

"Ada apa? Kartu ucapan? Udahlah, Sayang. Kan udah kasih selamat tadi. Jangan mikirin hal yang nggak penting dulu. Kamu istriahat aja."

Juno menggeleng cepat. "Aku selipin cincin buat kamu di sana."

"Cincin!" Kaila tersentak kaget. Gadis itu langsung berdiri dan menutup kedua mulutnya yang terbuka. Ia menoleh ke kanan, menuju meja suster dan dokter jaga. Sepertinya memastikan ia tidak mendapat teguran karena seruannya tadi.

JASA PACAR SEHARI ( END ✔️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang