17 : Sebuah Izin

15.4K 2.2K 57
                                    

"Lo nggak telepon orang tua lo?"

Kaila yang sedang duduk di pinggir brankar IGD menghela napas panjang. "Nggak ah. Cuma gini doang."

"Gini doang gimana? Itu kaki lo keseleo. Nggak bisa jalan gitu. Kalau lo nggak bilang orang tua lo sekarang, gue yang telepon."

"Emang lo punya nomer mama papa?" Kaila mencibir ketika memberi pertanyaan yang penyangsikan kalimat Juno.

Juno mengangkat kedua bahunya. "Tinggal tanya Gami atau Mario."

"Eh. Eh. Jangan dong. Iya, iya. Gue yang bilang." Gadis itu langsung mencari kontak mamanya dari ponsel dan memberi kabar pada wanita itu.

Tak sampai setengah jam, mama papa Kaila datang bersamaan ke rumah sakit. Keduanya celingukan mencari sosok putrinya. Kaila yang melihat itu langsung sedikit melambai untuk menarik atensi dua orang tuanya. Satu detik yang lalu, Kaila ada rasa takut karena akan dimarahi. Namun, ketika mama papanya datang, tidak ada raut kemarahan di sana, hanya ada sorot mata panik dan penuh kekhawatiran.

"Kaila. Kenapa bisa jatuh?" Mama Kaila menelisik setiap jengkal tubuh putrinya dan menatap iba pergelangan kaki Kaila yang sudah terbalut perban.

Gadis itu meringis seraya menggigit bibir bawahnya. "Aku tadi belajar motor, Ma."

"Aduh. Kamu ada-ada aja deh," sahut papa Kaila. Pria paruh baya itu berdecak sambil menggelengkan kepala.

Juno yang sejak tadi berdiri mematung di sisi brankar mulai berdehem dan membuka suara. "Maaf ya, Om, Tante. Tadi aku yang ngajarin Kaila buat nyetir motor."

Mama dan papa Kaila melihat Juno dari atas sampai bawah, tidak membiarkan sejengkal pun luput dari pandangan. Kemudian keduanya saling menatap dengan bingung.

"Eh, bukan Juno kok yang mau. Aku yang minta dia buat ngajarin nyetir motor," sahut Kaila. Perempuan itu merasa mama papanya akan memuntahkan amarahnya pada Juno. Ia takut orang tuanya akan mengeluarkan kalimat yang akan membuat Juno sakit hati.

"Juno ya namanya?"

Pertanyaan dari mama Kaila itu dijawab dengan anggukan kaku oleh Juno. Sementara Kaila menelan ludah dengan susah payah, takut amarah mamanya akan meledak untuk laki-laki itu.

"Ma, jangan salahin Juno. Kaila kok yang salah. Emang aku yang tadi minta ajarin sama dia. Aku aja yang nggak hati-hati."

Namun dugaan Kaila salah. Mamanya justru terkekeh. "Mama sih percaya. Kamu kan orangnya ceroboh. Meskipun Juno udah ngajarin kamu dengan hati-hati, pasti kamu yang nggak hati-hati."

Kaila mencibir. "Aku hati-hati, Ma. Cuma tadi ada kucing lewat terus aku berusaha menghindar, jadi jatuh."

Mama Kaila terlihat tidak menghiraukan perkataan putrinya itu. Wanita itu hanya menatap Juno. Mungkin, wajah Juno juga merupakan wajah yang bisa menarik perhatian wanita paruh baya.

"Lagian kamu ada-ada aja sih, Kai." Giliran papa Kaila yang bersuara. Kaila sudah siap menerima segala kalimat ceramah yang akan keluar.

"Kok tiba-tiba banget mau belajar motornya? Dulu-dulu nggak begitu. Pas papa nyuruh kamu buat belajar motor atau mobil, kamu bilang ada ojol, nggak perlu ribet, ini lah itu lah, banyak alasan. Sekarang tiba-tiba belajar nggak pakai izin dulu dari Papa."

"Ya soalnya Mama Papa bilang aku nggak bisa mandiri kalau kuliah di Bandung. Aku mau tunjukin ke kalian kalau aku bisa mandiri. Bisa bawa motor sendiri dan bisa dilepas buat kuliah ke Bandung."

"Masih perkara kuliah di Bandung? Kenapa sih ngotot banget mau kuliah di sana?"

Kaila tidak menjawab. Ia hanya memberi lirikan sekilas ke arah Juno. Sementara laki-laki itu hanya menunduk kaku seperti tidak ingin terlibat dalam perdebatan keluarga kecil itu.

JASA PACAR SEHARI ( END ✔️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang