Mama meletakkan susu ibu hamil di depan makanan Amora. Pagi ini, Amora baru mau keluar dan wajahnya juga terlihat berseri-seri entah karena apa.
"Kamu jangan lupa buat minum susu ini ya, biar janin diperut kamu kuat!" ujar Mama dengan perhatian.
Amora tersenyum manis kemudian mengangguk. "Makasih, mama!"
"Papa kemana? Gak mau sarapan bareng Mora?"
Mama langsung menggeleng. "Bukan, Papa lagi siap-siap be- tuh papa!"
Papa membenarkan letak dasinya dan duduk di kursi meja makan. "Kenapa cari Papa?"
Amora menggeleng lalu meminum air putih. "Gak kenapa-napa, Amora cuma takut kalau Papa gak mau sarapan bareng Mora."
"Kamu gak boleh berpikiran negatif terus, Mora kasian anak yang ada di kandungan kamu," ujar Papa dengan tegas. Mama langsung mengambilkan makanan untuk Papa dan ketiga memulai sarapan bersama.
"Maaf."
Papa membersihkan sudut bibirnya dengan tisu kemudian menatap Amora. "Papa mau tanya serius sama kamu. Papa gak mau gegabah lagi kayak kemarin sampai marahin Vincent tanpa adanya bukti."
Amora langsung mengangkat kepalanya dengan raut polos. "Maksud Papa?"
"Kamu bilang kalau kamu sama Vincent udah nikah, kan? Kalau Papa mau lihat buku nikah kalian, gimana? Walaupun nikah siri pasti ada buku nikahnya 'kan. Dan juga, ada buktinya kalau kamu hamil? Surat keterangan dari dokter kandungan misalnya atau yang paling kecil, testpack nya deh tunjukin ke papa," kata Papa dengan sangat lembut untuk memberikan Amora pengertian.
Ia tak mau lagi gegabah seperti kemarin karena terpancing emosi padahal dia sampai tidak membawa bukti kalau Vincent bersalah atau tidak. Itu sungguh memalukan.
Mama juga mengangguk membenarkan ucapan Papa. "Iya juga sih, tunjukkin sayang biar Vincent percaya dan tanggungjawab sama janin di kandungan kamu!"
Amora diam tak berkutik namun tak lama kemudian dia menangis tersedu-sedu. "Kalian semua gak percaya sama Amora!? Kalian gak sayang mora!"
Papa mengusap kasar wajahnya. "Kalau kamu di tanya gini aja nangis gimana Vincent dan keluarganya mau percaya, Amora? Please tunjukkin dulu yang papa bilang tadi! Kalau kamu kayak gini secara gak langsung kamu menghindar dan bohong! Ini bisa memalukan kamu sendiri, Amora! Dan juga memalukan papa sama mama!" tegas Papa membuat Amora semakin menangis tersedu-sedu.
"Maaf, Mora cuma bisa jadi beban dan buat kalian malu aja!" Amora langsung menghindar dan berlari memasuki kamarnya. Meninggalkan Mama dan Papa yang termenung melihatnya.
"Pa, kamu keterlaluan udah bilang gitu ke Mora, seharusnya kita yang support Mora-"
"Apa sih, Ma! Seharusnya kita tegas ke Mora kayak gini! Biar kita juga gak ketularan malunya!" tegas Papa lalu berlalu pergi dari rumah tersebut karena kesal.
Sedangkan di dalam kamar kini Amora menangis seraya memukul kepalanya ke bantal karena bingung dan juga kesal.
"Kenapa harus gini sih?! Apa aku masih sempat buat buku nikah sebagai bukti?! Tapi Vincent, kan emang udah hamilin dan nikahin aku di dalam mimpi! Huhuhuuuu!" Amora berteriak frustasi sambil meremas rambutnya.
"Apa ia aku sekarang udah gila?!"
***
Vierra merenggang 'kan tangannya lalu menguap sambil menutup mulutnya. "Bunda udah bangun?" ujarnya karena melihat ranjang di sebelahnya kosong. Ia melirik jam di dinding lalu terkejut karena sudah pukul 7 pagi!"Astaga kenapa Bunda gak bangunin aku?! Malu banget!" Vierra segera berjalan ke kamar mandi untuk cuci muka. Ia tidak berani menyentuh berbagai skincare bunda dan ayah. Masuk ke kamar ibu mertuanya saja Vierra hampir tak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIERRA'S SECOND LIFE
Fantasy(ENDING) "APA YANG KAMU UCAPKAN, VINCENT!?" Dadaku terasa sangat sesak, bagai terhimpit benda berat tak kasat mata. Dia, orang yang berada di depan ku, suamiku sendiri, menyatakan bahwa dia telah menghamili gadis yang kini menangis di balik punggun...