Dokter tersebut menghela nafas pelan lalu beranjak dari posisinya setelah memeriksa perut Amora. Ia menoleh kearah keluarga tersebut.
"Saya tidak menemukan adanya tanda-tanda kehamilan dari gadis yang bernama Amora ini dan juga saya sudah periksa jika tidak pernah ada aktifitas seksual yang ia lakukan." Kata Dokter tersebut dengan sopan.
"Oh, begitu ya?" Jawab Bunda dengan segan. Ia melirik Vierra yang terdiam di sampingnya.
"Iya, nyonya. Kalau begitu saya permisi jika sudah tidak ada lagi yang bisa saya lakukan. Mari," pamit dokter tersebut kepada semua pasang mata yang menatapnya.
"Mari, dok. Makasih ya." Balas Vierra setelah beberapa saat terdiam.
"Iya, sama-sama nyonya."
Setelah kepergian dokter tersebut, Vincent langsung menyeletuk dengan keras. "Duh, kalau gue sih malu ya nuduh-nuduh kayak tadi apalagi sampai panggilin dokter. Malunya sampai sini ya? Bunda cium gak bau malunya?" Vincent bertanya pada bunda dengan raut wajahnya yang menyebalkan.
Bukannya membela anaknya, bunda malah memukul bahu Vincent. "Apasih yang kamu omongin! Awas! Bunda sama ayah sama pulang."
"Tumben, mau kemana dulu?"
"Mau persiapan bulan madu ke Bali," sarkas bunda dengan kesal karena Vincent sekarang banyak tanya.
Vierra terkekeh kecil menikmati raut wajah Vincent yang kesal.
"Jangan aneh-aneh ya, bunda!"
Bunda berdecak lalu menggandeng tangan Ayah agar keluar dari dalam gudang yang sempit itu. Juga mama yang ikut keluar dari sana karena sudah muak dengan Amora. Kenapa ya dulu dia mau memungut gadis itu?
Sementara Vincent berjalan mendekati Amora yang masih belum bangun dari tadi. Sesuai janji, dokter tadi tidak mengobati luka yang ada di kepala Amora melainkan hanya membalutnya dengan kain.
Ia menunduk lalu mencengkram kedua pipi gadis di hadapannya, wajah Vincent kembali mengeras mengingat kejadian yang terus membekas di ingatannya. "Dasar wanita licik, lo pikir gue gak tau rencana lo selama ini?"
"Lo pikir gue cuma menikmati kayak dulu? Bangun, Amora!" Bentak Vincent semakin menancapkan kuku jarinya pada pipi gadis itu.
"Awss, sakit.." Lirih Amora lalu membuka matanya. Ia sangat kesakitan sekarang tapi ia tidak mampu berbuat apa-apa selain memandangi sosok sempurna di hadapannya.
"Bahkan pingsan aja lo pura-pura. Apa lo gak capek?" Ujar Vincent lalu melepaskan cengkraman tangannya saat di rasa pipi gadis itu berdarah karenanya.
"Amora, kamu pura-pura pingsan?" Kaget Vierra dari balik punggung Vincent. Dasar menyebalkan jika hanya pura-pura. Mengangkat Amora sampai ke gudang itu membutuhkan waktu, sia-sia saja yang di lakukan para bodyguard Vincent tadi.
"GAK ADA ORANG YANG DI BENTURIN KEPALA GAK PINGSAN, TOLOL! LO BEGO APA GIMA- AKHH SAKIT VINCENT!" Belum selesai dia berteriak pada Vierra, Vincent sudah lebih dulu menginjak pergelangan tangannya, membuat Amora memekik kesakitan.
"Lo keluarin sifat asli lihat tempat kali ah, jangan sampai ngumpatin istri gue." Kesal Vincent, pria itu tidak lagi terkejut melihat sifat asli Amora.
Sedangkan Vierra menutup mulutnya untuk menahan tawa. "Setelah sekian lama akhirnya kamu buka sifat asli kamu, Amora? Gimana? Topengnya udah retak ya?" Kekeh Vierra dengan sinis.
Tidak memperdulikan Vincent yang sudah menegurnya, Amora memandangi Vierra dengan marah. Wanita itu berdiri tepat di samping suaminya dan mereka terlihat serasi.
Amora kembali iri.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIERRA'S SECOND LIFE
Fantasy(ENDING) "APA YANG KAMU UCAPKAN, VINCENT!?" Dadaku terasa sangat sesak, bagai terhimpit benda berat tak kasat mata. Dia, orang yang berada di depan ku, suamiku sendiri, menyatakan bahwa dia telah menghamili gadis yang kini menangis di balik punggun...