"Mencintai tanpa di cintai itu bodoh. Bodoh karena mau bertahan dan nyaman di saat dia tak mengharapkan kehadiranmu sama sekali di hidupnya."
Hai, aku kembali minggu ini untuk ke-2 kali-nya! Semangat!
🔪🔪🔪
Terimakasih banyak banyak buat semua orang yang udah support cerita ini dari 0 🍭🔥Makasih udah vote, komen dan semangatnya buat aku bisa terus nulis!
Ketahuilah semakin banyak yang baca cerita seseorang, maka akan semakin besar resikonya. Bukan hanya sekedar menjadi terkenal melainkan akan semakin banyak yang benci dan suka dengan cerita ini.
Semakin banyak pembaca, semakin gugup aku buat update cerita😭🙃
Aku ovt mikirin kalau cerita ini gak sesuai sama ekspetasi kalian dan akhirnya aku yang kena sumpah serapah😣😖😫But, it's okay, happy reading aja!
♥︎****♡
Vierra mengeratkan jaket tebal yang ia kenakan di tubuhnya, malam semakin larut begitupun dengan udara yang terasa semakin dingin dan menusuk apalagi Vierra yang berada di depan teras rumah.
Jalanan yang padat, suara mobil dan motor terdengar dari seberang sana dengan sayup sayup karena memang halaman rumah mereka yang sangat besar.
Air mata Vierra kembali meluruh tanpa bisa cegah dan ia pun tidak memiliki keinginan untuk menghapus air mata serta isakan pilu miliknya.
"Papa.." bohong jika Vierra tak mengkhawatirkan ayahnya, sosok cinta pertamanya. Yang pertama menggendongnya, yang pertama menciumnya, yang pertama memberikan Vierra cinta paling banyak di dunia.
Bahkan dulu Vierra rasa, dia lebih nyaman bersama ayahnya di banding ibunya karena papanya jarang sekali marah.
Darah segar yang keluar dari bahu ayahnya masih melekat di ingatan Vierra seperti kaset rusak, yang terus berulang. "Vierra gak sengaja, ta-tapi papa juga salah.. Papa jahat sama mama, papa jahat sama Vie.. PAPA!" Vierra berteriak frustasi seraya terus mengacak rambutnya seperti orang gila.
Dan Vierra rasa dia memang gila sekarang.
Silau cahaya dari lampu sorot di depannya, membuat Vierra segera menghapus air mata di kedua pipinya. Ia berlari menghampiri mobil tersebut tetapi dia tak sengaja tersandung tangga teras yang membuat tangis Vierra semakin pecah. Rasanya hancur, sakit bercampur aduk.
Vierra tidak tahu apa yang ia tangisi sekarang. Sampai akhirnya Vincent keluar dari mobil dengan buru-buru menghampiri Vierra yang memukul keramik halaman mereka.
"Hey! Lo luka!" sentak Vincent tanpa sengaja. Ia menarik kedua tangan Vierra dengan pelan dan satu tangannya melingkar di pinggang Vierra dan menarik wanita muda itu agar berdiri.
"Kamu gak boleh kayak gini, Vierra. Bahaya, kamu lukain diri sendiri. Tangan kamu jadi merah kayak gini," ujar Vincent seraya mengelus lembut jemari Vierra.
"Gi-gimana keadaan papa? Kamu ikutin papa sampai mana?!"
Vincent terdiam, memang setelah kepergian papa Devin tadi, Vierra langsung menyuruh Vincent untuk mengikuti ayahnya, sekedar hanya memastikan ayahnya di bawa ke rumah sakit mana. Sedangkan sang mama, sudah Vierra biarkan tertidur setelah keduanya menangis bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIERRA'S SECOND LIFE
Fantasy(ENDING) "APA YANG KAMU UCAPKAN, VINCENT!?" Dadaku terasa sangat sesak, bagai terhimpit benda berat tak kasat mata. Dia, orang yang berada di depan ku, suamiku sendiri, menyatakan bahwa dia telah menghamili gadis yang kini menangis di balik punggun...