"Gimana sekarang ma? Udah merasa lebih baik?" tanya Vierra di sela-sela ia membersihkan tubuh ibu kandungnya dengan tisu basah. Penuh debu dan juga.. Luka.
"Mama bersyukur karena udah bisa makan nasi lagi," lirihan itu membuat Vierra tak kuasa menahan air matanya yang lagi-lagi lancang menerobos dari pelupuk matanya.
"Ma?" Vierra beralih memangku kedua tangan ibunya yang tergenggam dengan tangannya. "Mama mau cerita sama Vie tentang apa yang sudah terjadi selama ini?" Vierra bertanya dengan wajah berharap. Sudah hampir dua jam setelah kepergian sang dokter, ibunya hanya larut bicara seputar nasi dan mandi tidak lebih dari itu.
Ibunya seperti belum siap untuk mengatakan kejujuran tentang apa yang sudah terjadi padanya. Mungkin tepatnya belum sanggup.
Mama Kinara terkekeh miris mendengar pertanyaan anaknya. "Sudah lama, sayang.. Mama hampir lupa, gak sanggup juga buat cerita.."
Genggaman tangan mama menguat pada telapak tangan Vierra.
"Pelan pelan, mama pasti bisa ceritain itu sama Vie. Vie butuh kejelasan buat apa yang su-"
"Yang mengurung mama di gudang itu papa kamu, papa kamu Vierra," ujar mama setengah berteriak. Ia beralih untuk meremas rambutnya sendiri daripada melukai Vierra.
Vierra menarik paksa kedua tangan kurus ibunya lalu segera memeluk wanita paruh baya yang sudah terisak menyedihkan itu. "Mama, maafin Vierra yang sudah memaksa..mama tenang.."
"Mama gak sanggup buat ingat itu lagi, Vierra. Sakit, dada mama sakit.." Vierra tak mampu bicara selain mengelus punggung ibunya memberikan kekuatan. Lama terdiam akhirnya mama melepaskan pelukan singkat itu lalu turun dari ranjang.
"Mau kemana ma?" mama menyeka airmata yang berada di kedua pipinya kemudian tersenyum layaknya seorang ibu yang tidak mempunyai masalah apa-apa.
"Mama mandi dulu ya? Mama sadar kalau mama bau. Jadi, minta pakaian kamu ya, yang daster aja buat mama."
Vierra berusaha tenang kemudian menganggukkan kepalanya pelan. Ia tau jika sekarang ibunya itu tengah mengalihkan pembicaraan ini. Apa se trauma itu? Tapi setidaknya, Vierra tau siapa yang sampai membuat ibunya sekurus itu.
Setelah pintu kamar mandi tertutup, Vierra segera mengalihkan pandangannya kearah pintu yang tengah terbuka. Di sana muncul pria tampan dengan lengan kemeja putih yang sudah ia gulung sampai batas siku.
"Jangan nangis, mama aja bisa pura-pura kuat selama ini," di balik kata penenang itu, Vincent kembali menyelipkan kesedihan sekaligus motivasi untuk Vierra. "Tapi bukan berarti aku menyuruh kamu buat selalu simpan kesedihan kamu. Berbagi aja sama aku, kali aja aku pengen sama-sama sedih kayak kamu," bisik Vincent yang membuat Vierra memukul bahunya. Pria itu berdiri tepat di depan Vierra.
"Gak mau peluk dulu?" tawar Vincent dengan seringai kecil yang ia perlihatkan kepada istrinya yang tengah menahan isakan itu.
Sebelum Vierra menggeleng, Vincent sudah lebih dulu menarik tubuh Vierra masuk kedalam pelukan hangatnya. Ini sepertinya pertama untuk Vierra.
"Vi-vin-"
"Aku tau kamu mau, tapi malu." akhirnya dengan penuh pertimbangan, Vierra melingkarkan tangannya di pinggang Vincent serta kepalanya yang ia letakkan di perut Vincent yang terasa keras.
"Dokter bilang apa soal kondisi mama?"
Vincent terdiam sampai Vierra kembali bertanya seraya mendongak kearahnya.
"Vincent, aku nanya sama kamu," tegas Vierra tak terbantahkan.
"Dokter bilang mama terkena kondisi medis malnutrisi lebih tepatnya kurang nutrisi ya, kurang gizi dan juga terjadi beberapa gangguan di sel otaknya akibat trauma yang mama alami seperti stress pasca trauma, mungkin sekarang mama masih bisa mengontrol keadaannya jika di depan kita tapi mungkin mama gak bisa berbuat apa-apa kalau dia lagi sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
VIERRA'S SECOND LIFE
Fantasy(ENDING) "APA YANG KAMU UCAPKAN, VINCENT!?" Dadaku terasa sangat sesak, bagai terhimpit benda berat tak kasat mata. Dia, orang yang berada di depan ku, suamiku sendiri, menyatakan bahwa dia telah menghamili gadis yang kini menangis di balik punggun...