:: Bab I ::

5.2K 202 12
                                    

"Baik. Jadi, tadi kamu sudah dengar, kan, apa saja kesalahan kamu?"

"S-sudah, Bu." Flo tergagap. Hati kecilnya bergemuruh hebat, memberi pertanda tak menyenangkan. Keringat dingin membuat telapak tangannya basah kuyup.

"Kami, selaku dosen penguji sudah berdiskusi. Maaf sekali, tapi, kami belum bisa meluluskan kamu sekarang. Silahkan ikuti sidang ulang setelah kamu diskusi dengan dosen prmbimbing kamu. Sekarang kamu bisa perbaiki skripsi kamu terlebih dahulu."

Seperti terkena sihir dari tangan dingin Putri Elsa, Flo membeku di tempatnya. Sorot matanya yang kosong tertuju pada layar laptop, dimana satu persatu peserta Zoom Meeting yang merupakan dosen penguji dan dosen pembimbing skripsi-nya keluar dari ruang rapat online itu.

Flo blank. Setidaknya untuk beberapa menit sebelum sang Mama menghampiri seraya bertanya, "Gimana? Lulus?"

Flo menjatuhkan pandangan pada Mamanya. Keriput di wajah wanita itu begitu ketara. Ada gurat penasaran yang menyempil di antara garis wajah. Sejenak, Flo tersadar bahwa Mamanya mulai menua.

Flo mencabut earphone yang menyumpal telinga. Pita suaranya seakan diikat sehingga ia tak mampu menjawab pertanyaan itu.

Sementara itu, sang Mama masih menatapnya dengan pertanyaan yang sama. Di saat itu, Flo tak terpikirkan apapun kecuali beranjak dan berlari menuju kamar mandi. Memancing tanda tanya yang lebih besar disertai pekikan wanita paruh baya tersebut.

"Floretta!"

Ketukan menggerayangi pintu kamar mandi. Beruntung, Flo sudah menguncinya sehingga ia tak perlu khawatir Mamanya akan merangsek masuk di saat bersamaan dengan air mata yang merembes di atas pipi.

Flo melepas almamater kampus-nya yang sesak di bagian lengan serta membuka kancing teratas kemeja yang membuatnya tercekik. Ia lantas mengambil jengkok, bangku kecil yang biasanya digunakan sang Mama untuk duduk ketika menyikat baju.

Menaruh bokong di sana, Flo menyembunyikan air matanya di balik telapak tangan yang menangkup wajah. Awalnya, ia tidak berniat menangis kencang. Namun, saat ia mulai sadar dan mengerti akan situasi buruknya sekarang, Flo tak bisa menahan isakan di dalam tenggorokannya lebih lama.

Jarum pendek pada jam di pergelangan tangan kanan Flo menunjuk ke angka 3. Raungan Flo semakin keras. Ia meninju air di dalam bak yang tak lebih tinggi dari betisnya sebagai pelampiasan amarah.

Harusnya, saat ini ia bisa foto-foto cantik dengan penuh senyuman seraya memamerkan skripsi yang sudah menemaninya beberapa bulan belakangan dengan derai air mata dan perasaan gelisah.

Harusnya, saat ini ia bisa menerima ucapan selamat dari teman-temannya yang berbondong-bondong meminta fotonya untuk diunggah di snapgram.

Harusnya, saat ini ia bisa rebahan dengan pundak yang sedikit lebih ringan karena beban terbesar di masa perkuliahannya ini akhirnya terangkat.

Akan tetapi, mau seberapa rajin Flo berharap dan berdoa, semua keputusan ada di dosen penguji. Kalau dosen penguji memutuskan untuk tidak meluluskan Flo di semester ini, dia bisa apa?

Flo ingat, baru semalam salah seorang kakak tingkat kenalannya menceritakan tentang teman yang tidak lulus semester kemarin dan harus mengulang di semester yang sama dengan Flo. Kakak tingkat itu juga mengingatkan Flo untuk percaya diri ketika menjawab semua pertanyaan, tak peduli jawabannya tak masuk akal atau memang salah. Kalau tidak, Flo bisa-bisa tidak lulus seperti teman dari si kakak tingkat ini.

Flo mengikuti sarannya. Flo mempertahankan argumennya, walau gemetar juga. Ia seperti melihat wujud dewa kematian melalui dosen penguji-nya. Kendati terhalang layar laptop, tatapan mengintimidasi mereka tetap berhasil mematahkan semangat Flo.

Angry Om is My Housemate [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang