:: Bab III ::

2K 144 9
                                    

"Itu Pakde Nur, Pak."

Jari telunjuk Flo mengarah pada pria yang tampak lebih tua dari Bapaknya namun dengan tubuh yang lebih kurus. Pria itu melambai kepada mereka yang baru saja turun dari bus. 

"Lancar, kan, jalanannya?"

Pakde Nur menyapa Flo serta kedua orang tua-nya begitu mereka sampai di tempat pria itu berada dengan pertanyaan klasik, yang selalu diberikan tiap mereka baru sampai di Purwokerto. Flo pun mengangguk seadanya karena perjalanan mereka tadi memang lancar jaya. Paling macet sedikit itupun hanya di beberapa titik tertentu.

Di belakang Pakde Nur ada sebuah mobil bak terbuka. Mengambil alih 2 tas tenteng dari tangan Bapak Flo, Pakde Nur kemudian menaruhnya di kursi depan mobil tersebut. 

"Gimana keadaan Ibu, Mas? Kenapa bisa sampai kritis gitu?"

Pakde Nur adalah anak tertua di antara ke-5 anak Mbah-nya Flo. Sementara Mama-nya adalah anak ke-tiga dan menjadi satu-satunya anak yang merantau ke Jakarta. Seluruh saudara Mama-nya tinggal di Purwokerto. Ada yang dekat dengan rumah si Mbah dan ada juga yang tinggal di desa yang berbeda.

Menghela napas dulu, Pakde Nur tampak bingung menyusun jawaban yang tepat.

"Bukan kritis, Mar. Ibu, tuh, berlebihan. Biar kamu pulang. Memang dari kemarin ngeluh tenggorokannya sakit, jadi malas makan. Karena malas makan, jadinya kekurangan cairan," jelas Pakde Nur, lengkap dengan logat ngapak yang kental. 

Mendengar jawaban itu, Mama Flo semakin lemas. Meski di satu sisi beliau bernapas lega, tapi Flo bisa mendengar wanita itu mendecak. Sepertinya, Mariah kesal karena merasa sedang diprank sekarang.

Pakde Nur kemudian mengajak Mama dan Bapak Flo naik ke mobil. Keduanya duduk di kursi depan, tepat di samping Pakde Nur yang akan mengemudikan mobil tersebut. 

"Flo duduk di belakang aja, ndak apa-apa, kan?"

Flo mengerti dengan kondisi kursi bagian depan yang tak memungkinkan untuk mengangkut 3 penumpang sekaligus. Apalagi dengan tubuhnya yang mungkin akan memakan lebih banyak tempat. Hanya saja, duduk di bagian bak, sendirian, dan di tengah malam begini entah mengapa malah membuat Flo menelan ludah gugup. 

Pakde Nur masih setia menunggu jawaban dari Flo. Memanggil taksi pun pasti akan merogoh kocek yang lebih banyak. Sudah untung Pakde Nur mau menjemput mereka agar tak susah payah mencari angkutan untuk sampai ke tempat si Mbah. Ia yang menyadari itu pun jelas tak punya opsi lain kecuali mengiyakan. 

"Iya, gak apa-apa, Pakde."

Pakde Nur sempat membantu Flo untuk naik ke atas bak lantas memberikan satu jengkok yang bisa Flo gunakan untuk duduk selama perjalanan. Mobil bak ini biasa dia gunakan untuk membawa hasil kebun sehingga sudah pasti bagian alasnya kotor oleh sisa tanah dari sayuran yang baru dipetik.

Harus beradaptasi dengan guncangan yang lebih terasa di tempatnya duduk, Flo mencari kesibukan dengan membuka ponsel. Salah satu hal yang hampir dilupakannya adalah menghubungi sang kakak untuk memberi kabar.

To: Mbak Fina

Kita udah sampai. Kata Pakde Nur, Mbah gak kritis. Cuma kekurangan cairan.

Tak butuh waktu lama hingga Alfina membalas. Sudah pukul 2 dini hari dan dia belum tidur. 

From: Mbak Fina

Jangan bilang Mbah sengaja biar Mama pulang ke sana? Duh, orang tua kenapa suka drama, ya?

Flo terkikik geli karena balasan Alfina. Meski kesannya durhaka, tapi jujur, tuduhan Alfina terhadap Mbah mereka sempat terlintas di otak Flo juga.

Angry Om is My Housemate [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang