:: Bab XXX ::

1K 84 11
                                    

Sudah 1 jam Ranggi mondar-mandir di teras, menunggu kepulangan Flo. Berulang kali mengerahkan upaya untuk menghubungi gadis itu, tapi tak ada satu pun panggilannya yang dijawab.

Seandainya ia tahu kemana Flo pergi, akan dengan mudah ia menyusul. Tapi kenyatannya, si Mbah yang dipamiti bahkan tak tahu untuk urusan apa gadis itu pergi sejak siang.

Hari semakin gelap. Ranggi melirik sudut dimana sepeda metalik biru milik si Mbah biasanya terparkir. Kosong.

Ranggi menggumam cemas seraya menggusar rambut lepeknya secara asal. Sambil mempertanyakan keberadaan Flo, hatinya terasa semakin tidak karuan.

Bahkan, ia hampir menelfon polisi karena terlalu putus asa. Untung, niatnya itu tak jadi terealisasikan karena yang ditunggu-tunggu akhirnya pulang.

Kayuhan Flo pada pedal sepeda berhenti sesaat setelah tatapannya berserobok dengan milik Ranggi. Mendapati kecemasan yang tergambar di sana, Flo memuat senyum kecil di antara kedua sudut bibir.

Ranggi bergegas menghampiri Flo. Kendati ia bisa lebih bersabar agar gadis itu yang menghampirinya lebih dulu.

Sayangnya, ia terperangkap oleh kekhawatiran berlebih yang membuatnya buru-buru memindai kondisi Flo. Guna memastikan gadis gempal itu baik-baik saja.

"Kamu dari mana aja?" sosor Ranggi kemudian.

Meringis pelan, Flo lantas menjawab, "Keliling-keliling."

"Naik sepeda?"

Dengan cepat Flo mengangguk. Ia tidak sedang bergurau.

Kenyataannya, ia memang mengayuh sepeda untuk berkeliling di pusat kota. Berdasarkan rekomendasi internet, Flo menjelajah dari satu tempat ke tempat lain. Tak aneh kalau aroma badannya jadi tidak sedap berkat keringat yang seakan diperas dari tubuhnya setelah hampir seharian bersepeda.

Sebenarnya, Ranggi masih punya banyak pertanyaan. Namun, teringat bahwa tidak baik terlalu lama di luar rumah kala senja, ia segera menyuruh Flo untuk masuk dan bersih-bersih.

Flo menuruti. Usai memarkirkan sepeda, ia langsung masuk ke dalam kamar. Berdalih mengambil pakaian dan handuk padahal kembali termenung saat memikirkan kembali keputusan besar yang telah ia ambil.

...

Rasa lelah setelah menyetir sendirian dari Jakarta ke Purwokerto nyatanya tidak berhasil ditawar. Alih-alih mereda, Bima malah merasa beribu kali lipat lebih lelah setelah pertemuannya dengan Flo tadi siang.

"Gue... gak bisa nerima perasaan lo, Bim."

Butuh 10 detik untuk Bima memahami makna kata demi kata yang Flo rangkai menjadi sebuah penolakan. Itu pun, ia tercenung dulu selama beberapa saat sebelum akhirnya memberi respon seperti orang bodoh. "H-hah?"

Flo mengeluarkan sesuatu dari dalam tote bag-nya. Ada dua bunga mawar merah berpita merah muda yang kemarin ia berikan. Yang satu sudah keriput dan layu, sementara yang lain masih cerah merona.

Gadis itu mendorongnya secara perlahan. Seolah mempersilahkan Bima untuk mengambil kembali bunga tersebut.

Bima mengerjap perlahan. Tatapannya menjadi kosong ketika ia mengamati dua batang bunga di hadapannya.

Sejurus kemudian, angin tiba-tiba bertiup lebih kencang. Sebagian kelopak dari kedua bunga mawar tersebut pun ikut tertiup, membuat penampilannya tak lagi sempurna.

Seakan bisa melihat keadaan hatinya sekarang pada bunga mawar tersebut, Bima menarik napas panjang. Sakit mencengkram ulu hati secara tiba-tiba. Menciptakan kerutan dalam di atas keningnya.

Angry Om is My Housemate [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang