:: Bab VIII ::

1.2K 117 11
                                    

"Minggir."

Flo menurut tanpa membantah. Ia berusaha bangun dari atas tubuh Ranggi yang sepertinya menjadi gepeng karenanya.

Tak berhenti memelintir ujung kaus seraya meringis takut, Flo menunggu hingga Ranggi bangkit dari posisinya. Pria itu mengaduh sakit tanpa suara, namun dengan ia yang terus mengurut pinggang, Flo yakin ada yang bermasalah di bagian tersebut.

Malamnya kali ini benar-benar menyebalkan. Pasti karena Flo bertemu Mawar tadi sore.

Sudah kehabisan tenaga untuk marah-marah, Ranggi hanya mendorong tubuh Flo untuk keluar dari kamarnya. Sayangnya, gadis itu tidak serta merta mengikuti kehendaknya. Dia malah beberapa kali berhenti seraya meminta maaf.

"Mas, maafin saya lagi. Saya tadi lagi nulis note, gak tahu kalau Mas Ranggi bakal buka pintu."

Ranggi tak menjawab. Hanya terus berusaha mengeluarkan cewek rese itu agar ia bisa berhenti terkena sial malam ini.

"Mas Ranggi, ini. Saya mau ngasih salep ini buat luka bakarnya Mas Ranggi."

Masih enggan buka suara, Ranggi menutup pintu secara paksa. Tak peduli pada Flo yang masih ingin bicara dengannya bisa saja terjepit dan terluka. Ia bahkan tidak menerima salep yang gadis itu berikan.

"Mas Ranggi mau pakai minyak urut, gak? Minyak urut punya Mama saya kebetulan ketinggalan. Mas Ranggi bisa pakai buat di pinggangnya. Kalau perlu saya pijat-in sekalian, gak apa-apa."

Gadis gempal itu masih tak mau menyerah. Ranggi pun tak punya pilihan lain kecuali mendorong kepala Flo yang berada di celah pintu agar ia bisa segera menutupnya.

Sungguh. Rapat disipliner tadi siang sudah cukup membuatnya kelelahan. Ia tak mau membiarkan Flo membuatnya semakin lelah karena kecerobohan dan sikap menyebalkannya itu.

Usai memastikan pintu terkunci, Ranggi bergerak tertatih menuju kasur. Di tepi, ia duduk seraya mengurut pinggangnya yang nyeri bukan main.

"Encok, dah, gue."

...

Tin! Tin! Tin!

Demi bunga mawar kesayangan si Mbah yang ada di taman belakang, Flo ingin sekali melemparkan pot bunga mawar itu ke siapapun yang telah mengganggu mimpi indahnya.

Duh, padahal di mimpinya, ia tinggal memindahkan tali toga dari kiri ke kanan dan menerima ijazah. Namun, alur mimpinya keburu buyar gara-gara klakson sialan.

Flo berusaha meredam suara bising klakson itu dengan menyumpal telinga menggunakan earphone baru-nya.

Iya, yang diberikan Ranggi waktu itu.

Sayangnya, tidak mempan. Flo yang terlanjur kehilangan semangat tidurnya pun memutuskan beranjak.

Menyibak tirai, Flo mengintip keluar. Seorang pria tampak berdiri di antara pintu mobil yang terbuka, menekan klakson sambil nyengir kuda. Pria itu jelas sudah gila.

"Gendeng, tuh, orang," gumam Flo, sebal. Niat untuk menegur orang gila itu sudah muncul di benaknya, tapi kembali terkubur saat ia lihat Ranggi menghampiri pria tersebut.

Melihat Ranggi, Flo seketika teringat dengan insiden semalam. Apalagi ketika pria itu berjalan lesu seraya memegangi pinggang.

'Apa masih sakit, ya, pinggangnya?' Flo membatin, cemas.

Ranggi memasang wajah datar. Tapi, tangan ringannya menggeplak bagian belakang kepala pria gila itu hingga pria tersebut meracau.

"Dongo! Asal geplak aja!"

Angry Om is My Housemate [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang