:: Bab XVII ::

1K 109 7
                                    

Dengan rasa sakit di sekujur tubuh, Ranggi pikir ia sudah tidak tertolong. Kendati demikian, tidur panjangnya tentram sekali. Ia tak melihat ada malaikat pencabut nyawa yang datang menghampiri. Tidak pula dengan kilas balik kehidupannya, seperti yang biasa digambarkan di film-film.

Warna putih yang dilihatnya begitu sadar mestinya menjadi pertanda bahwa ia sudah ada di surga. Walau ia sendiri tak cukup yakin apakah pahalanya mampu membawanya ke sana.

Tapi, begitu mencium aroma disinfektan yang sangat kuat, Ranggi berubah pikiran. Mana ada surga bau karbol begini?

"Mas Ranggi?"

"Gi? Ranggi? Lo sadar, Gi?"

Menahan denyut nyeri yang menjalar di kepala, Ranggi mengalihkan pandangan. Penglihatannya yang buram perlu waktu untuk menjadi jelas. Hingga akhirnya ia menemukan wajah melongo sang sahabat, Ranggi sudah tak mau berharap kalau dirinya dimasukkan ke surga.

"Ngapain lo...?"

Ranggi bertanya lirih. Masker oksigen sungkup yang menutupi bagian mulutnya membuat suaranya teredam dan tidak begitu jelas.

"Hah?! Lo ngomong apa?!"

Speaker masjid mungkin akan kalah dengan suara Bernard yang terlampau kencang. Beberapa pasien yang dirawat di ruangan yang sama pun sudah menoleh namun pria itu tidak menyadarinya sama sekali.

Ranggi mendecak, lalu memejamkan mata karena mulai lelah. Menanggapi pria Batak itu hanya akan memperburuk kondisinya dan Ranggi memilih untuk menyerah duluan.

"Mas Bernard, tunggu sini, ya. Biar saya yang panggil dokter."

Suara itu sukses menyadarkan Ranggi bahwa nyatanya Bernard tak sendirian di sana. Tak lagi berfokus pada sang sahabat, Ranggi menjatuhkan lirikannya pada seorang gadis yang telah berbalik lantas berjalan keluar dari ruangan.

Ia menatap jejak kepergian gadis itu lamat-lamat. Perasaan lega langsung menepis segala ketakutan yang sempat ia rasakan sebelum tidak sadarkan diri.

Kini, ia tak perlu merasa cemas lagi.

...

"Komplotan itu sudah lama jadi buron. Tapi, ini pertama kali mereka datang ke desa kami."

"Dan semoga ini jadi yang terakhir," balas Flo dengan cepat. Ucapan sederhananya segera diamini oleh Pak RT yang masih belum bisa menerima kenyataan kalau desa-nya yang selama ini aman dan tentram kemasukan maling.

Parahnya lagi, komplotan maling itu bersenjata dan tak segan melakukan kekerasan jika diperlukan. Buktinya, Ranggi menjadi korban.

Pria kurus yang selalu tampil rapih dengan kemeja batik dan peci itu pun mengusap pundak Flo. "Nak Flo tolong jaga Mas Ranggi, ya. Mbah Karsih sudah aman di rumah saya. Mbak Sari bilang, dia akan jemput Mbah Karsih nanti sore. Karena komplotan maling itu sudah ditangkap, Nak Flo juga gak perlu khawatir lagi sekarang."

Flo tak punya respon lain kecuali mengiyakan lantas berterima kasih. Ia pun mengantar Pak RT yang berpamitan pulang hanya sampai lobby rumah sakit. Sebelum akhirnya kembali ke kamar Ranggi.

Beruntung, wajah Ranggi hanya babak belur sedikit. Cedera serius yang dimiliki pria itu adalah di bagian tengkuk dan bahu. Dia jadi harus menggunakan neck collar dan penyangga bahu selama beberapa hari ke depan, tergantung perkembangan kesembuhannya nanti.

Begitu masuk ke kamar, dilihatnya Ranggi yang berusaha untuk duduk. Flo bergerak cepat untuk membantu.

"Mas Ranggi mau minum? Apa mau makan? Mau ke kamar mandi? Biar saya bantu."

Angry Om is My Housemate [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang