:: Bab XIX ::

1K 115 4
                                    

Jika bukan karena colekan dari perawat yang bersiap untuk membereskan ranjang, Flo pasti masih bergulat dengan skripsi di dalam mimpinya dan tak tahu kalau Ranggi ternyata sudah dipindahkan.

Dengan separuh nyawa yang masih mengawang, Flo tergopoh-gopoh menuju kamar yang sebelumnya diberitahukan oleh perawat itu. Begitu lift membawanya ke lantai 6, ia berhenti sejenak untuk mengatur napas sekaligus mengontrol diri yang merasa pening akibat dibangunkan secara tiba-tiba.

Kamar Arteri IV, nomor 603.

Flo memeriksa sekali lagi untuk memastikan ia tidak salah buka pintu. Tapi, saat mendengar suara khas bernada tinggi dari dalam sana, Flo tidak perlu pikir panjang untuk segera menggeser daun pintu berwarna putih di hadapannya.

Suara itu berhenti tatkala Flo bergerak masuk ke dalam. Ditemani alis yang hampir menyatu, gadis itu menatap dua pria di hadapannya lalu memprotes, "Kok gak ada yang bangunin saya, sih pas Mas Ranggi pindah kamar?"

"Eh, Floretta. Udah bangun lo. Iya, tadi abis kata Rang—"

"Makannya jadi orang jangan kebo. Katanya mau jagain orang sakit, tapi tidur mulu kerjaannya."

Bernard sebagai orang yang pertama bersuara menarik atensi Flo. Namun, Ranggi yang menyela tiba-tiba berhasil mencuri seluruh perhatiannya. Ia menatap pria dengan neck collar yang masih melingkari leher itu ditemani rasa tidak terima.

"Ya paling gak jangan ninggalin saya sendirian gitu, loh. Kan, malu!"

Respon Ranggi yang memutar bola mata mendidihkan emosi Flo. Ia hampir menyentil mata pria itu dengan karet gelang yang tak sengaja ia temukan di sudut ruangan kalau saja Bernard tidak gesit menenangkan dirinya.

"Udah, udah. Sorry, ya, Flo. Harusnya gue bangunin lo tadi. Sorry, ya sekali lagi." Bernard mendinginkan Flo seraya mengajaknya duduk di sofa ditemani beberapa bungkus cemilan yang dirinya beli.

Ia bahkan aktif menawarkan, tapi Flo terus saja menggeleng dan memilih untuk bertanya sesaat setelah menyadari bahwa kamar rawat yang ditempati Ranggi kali ini jauh lebih luas dan nyaman.

"Pindah kamar ini Mas Bernard yang ngurusin?" tanyanya, tak berhenti memindai seisi kamar.

Semuanya tampak berkelas, tentu saja karena kamar itu adalah kamar VIP. Flo pun jadi terheran-heran. Sedikit tidak menduga kalau pegawai bank seperti Ranggi bisa mendapatkan kamar inap se-bagus ini. Flo yakin, untuk bisa mendapatkan kamar tipe ini, Ranggi pasti tidak memakai BPJS atau mengandalkan bantuan pemerintah.

Berhubung Flo menolak seaweed chips yang sudah ia bukakan, akhirnya Bernard yang memakan camilan renyah nan gurih itu. Dia membenarkan, "Si dongo itu yang request kemarin. Sebenarnya udah gue urusin dari pas balik. Cuma karena gue baru sempat datang pagi ini untuk konfirmasi lagi, makannya baru dipindahin tadi."

"Eh, iya. Hari ini, kan gue libur. Gue bisa jagain Ranggi jadi kalau lo mau pulang dan istirahat di rumah, boleh banget, loh, Flo."

Selesai dengan kegiatan mengagumi kamar rawat inap Ranggi yang bahkan lebih nyaman daripada kamarnya, Flo pun menoleh pada Bernard. Bahu yang sejak kemarin merosot turun, kini berjengit gembira. Padahal baru sehari ia di sana untuk menjaga Ranggi, tapi rasanya seperti sudah seminggu.

"Yang benar, Mas? Oke. Kalau gitu, saya balik, ya."

"Eh! Gak, gak! Siapa yang ngebolehin?!"

Flo sudah menginjak pedal gas untuk pergi dari sana, namun pekikan Ranggi bagaikan polisi tidur yang menjadi penghambat. Hal itu, membuat bahunya kembali jatuh.

Angry Om is My Housemate [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang