Flo tidak membual. Bentuk keseriusan atas kata-katanya malam itu adalah apa yang dilakukannya sekarang.
Beruntung sejak awal Flo tidak bawa banyak pakaian. Sehingga satu-satunya tas yang ia gunakan itu tidak terlalu berat. Bila Bude Sari dan Pakde Nurdin membekalinya dengan oleh-oleh, jelas akan lain ceritanya.
Kinar menghampiri tepat ketika Flo selesai berkemas. Ia memberikan tiket untuk kepulangan gadis itu. Menggantikan Alfina, Kinar membantu Flo mengurus segala sesuatu untuk kepulangannya ke Jakarta.
Setelah menyampaikan terima kasih, Flo memberi ruang agar Kinar bisa duduk di tepi ranjang bersamanya. Keduanya sama-sama menatap tas yang bersandar di sudut lemari, tenggelam dalam isi kepala masing-masing.
"Padahal Mbak mau ajak kamu ke Menara Pandang, Flo. Tapi, kamu keburu pulang," ujar Kinar. Ada penyesalan di balik cengiran-nya.
Seperti sudah diatur otomatis, Flo tak bisa mengelak saat lemari ingatannya menyuguhkan kenangan indah bersama Ranggi di tempat yang Kinar sebutkan. Menara Pandang Teratai yang memiliki tempat tersendiri di dalam hatinya. Tidak hanya karena pemandangannya yang indah, tapi juga karena sosok yang bersamanya saat itu.
Flo menghela napas panjang, "Mungkin lain waktu aja, Mbak."
"Iya." Kinar mengangguk, lantas menepuk pundak Flo untuk menyalurkan semangat. "Sekarang, kamu selesai-in skripsi kamu. Nanti kalau udah selesai, kamu balik lagi aja ke sini, ya. Mau Mbak ajak healing ke semua tempat bagus di Purwokerto."
Siapa yang tak senang dengan tawaran se-indah itu. Bahkan, bayang-bayangnya saja sudah hilir mudik di dalam kepala Flo. Sayangnya, bayang-bayang itu dengan cepat ditepis oleh peringatan bahwa ada sidang skripsi kedua yang tengah menanti untuk bisa menerkam dirinya.
Sesaat setelahnya, tak ada lagi yang bersuara. Seandainya Kinar tidak mengulang pertanyaan yang sama seperti yang ia lontarkan di meja makan waktu itu, Flo pasti sudah terjebak dalam lamunannya.
"Kamu benar-benar gak tahu Ranggi kenapa, Flo?"
Flo tidak berani membalas tatapan Kinar yang mencerminkan tanda tanya besar. Ia takut kalau kakak sepupunya itu mampu mendeteksi semua hal yang tengah dirinya sembunyikan.
Konsisten, Flo pun menggeleng lemah, "Gak tahu, Mbak."
"Dia gak pernah WA kamu untuk kasih kabar, gitu? Atau kamu pernah samperin ke tempat kerjanya untuk cari tahu kenapa dia gak pulang-pulang?"
"Gak, Mbak. Ngapain juga... aku repot-repot samperin ke tempat kerjanya?" Flo tertawa renyah. Pura-pura lupa tentang seorang gadis yang sudah repot-repot memasak telur kukus, kemudian mengantarnya dengan sepeda, hanya untuk dicampakkan oleh seseorang yang ia pikir tak akan menyakitinya.
Kinar mendecak heran. Bukan karena Flo, melainkan karena Ranggi yang seperti hilang ditelan bumi.
"Jujur, Mbak sempat takut dia diculik kayak di berita-berita itu, loh, Flo. Tapi anehnya, duit sewa dia bulan ini udah dia transfer kemarin. Pas Mbak chat, tanya kenapa dia gak pulang, eh gak dibalas."
Yang bertanggung jawab atas duit sewa kamar Ranggi adalah Kinar. Ranggi selalu membayar sewa bulanannya dengan cara mentransfer ke rekening pribadi si Mbah.
Namun, Mbah yang gaptek jelas kesulitan untuk memeriksa. Alhasil, Kinar yang diberi amanah untuk memegang akun m-banking dari nomor rekening si Mbah agar dirinya bisa memeriksa transferan dari Ranggi secara berkala.
"Maksud Mbak, tuh kalau dia mau pindah ke kos-kos-an lain, ya ngomong aja gitu, loh. Jangan ujug-ujug ngilang, bikin orang khawatir. Mau bagaimana pun, kita udah anggap Ranggi kayak keluarga. Kalau dia kenapa-kenapa, kan, kita juga yang takut. Apalagi si Mbah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Angry Om is My Housemate [ C O M P L E T E ]
RomanceGagal lulus tepat waktu karena harus mengulang sidang skripsi adalah cobaan yang tidak pernah sekalipun ingin dicoba oleh Floretta. Kepalang stress karena harus tambah semester sementara Bapak-nya pensiun di saat bersamaan, membuat Flo sangat terpur...